Jumat, 20 April 2012

Pembentukan Pengurus IMAS Malang

Mendadak tanpa ada konsep matang dalam pembentukan pengurus Ikatan Mahasiswa Alumni Sidogiri (IMAS) cabang Malang yang dilaksanakan tadi malam (Senin 16 April 2012). Mulanya aku hanya iseng-iseng ngobrol dengan Muhyiddin saat dia datang ke kosku untuk mengambil bajunya yang ketinggalan. “Ayo malam ini rapat pembentukan pengurus IMAS Malang!”, kataku pada Muhyiddin yang direspon dengan baik dan menyetujuinya.
Akhirnya setelah isya’ aku berangkat ke kamar nomor 29 asrama Ibnu Kholdun di UIN Maliki Malang, setelah sebelumnya kukirimkan sms kepada beberapa mahasiswa alumni Sidogiri yang kebetulan juga kuliah di UIN, tentang rapat kali ini. Berulang kali gagal dilaksanakan, kali ini memang harus ‘dipaksa’ untuk membentuk pengurus. Beberapa waktu lalu sempat akan diadakan pembentukan pengurus mulai dari ketua, wakil ketua, sekretaris, bendahara dan jajaran pengurus lainnya serta devisi-devisi, dan juga rapat tentang nasib IMAS masa yang akan datang, namun gagal dilaksanakan.
Meskipun hanya dihadiri enam orang termasuk aku sendiri, akhirnya pemilihan secara aklamasi terjadi begitu saja. Aku, M. Roihan Rikza, terpilih sebagai ketua IMAS cabang Malang. Mahin Mufti sebagai wakil. Muhyiddin sebagai sekretaris. Ketiga nama yang disebutkan adalah mahasiswa UIN. Ada Rifqi asal Probolinggo yang terpilih sebagai wakil sekretaris. Dia kuliah di Universitas Negeri Malang yang lebih dikenal dengan singkatan UM. Bendahara pada kepengurusan kali ini diserahkan kepada Andik yang kuliah di Universitas Islam Malang (UNISMA). Fawaid (UIN) sebagai wakil bendaharanya.
Tidak hanya berhenti pada struktur itu saja. dibawah jabatan yang telah disebutkan di atas terdapat tiga devisi yang tentunya bertujuan untuk menggali dan mewadahi potensi teman-teman alumni yang selebihnya akan dijadikan sebagai salah satu bagian kegiatan rutinan. Ada tiga devisi yang disepakati dan dibentuk pada kepengurusan dadakan kali ini.
Pertama,Devisi Ubudiyah yang diketuai oleh Lukman Hakim (UIN) merupakan devisi yang mengkordinir jalannya kegiatan yang berkaitan dengan tahlil, shalawatan dan berbagai macam kegiatan peribadahan lainnya. Sengaja dibentuk dengan devisi Ubudiyah karna ingin mengembalikan ruh pesantren yang juga terdapat bagian khusus yang menangani kegiatan peribadahan mulai dari shalat berjama’ah di masjid, pembacaan burdah keliling dan yang dilakukan perdaerah tiap malam, pembacaan tahlil malam Jum’at atau sewaktu-waktu ada peringatan haul dan kematian seseorang, dan pembacaan shalawat Nabi baik itu diba’iyah, barjanji atau simtud durar.
Kedua, Devisi Ta’limiyah yang diantara kegiatannya adalah pengajian kitab kuning dan musyawarah (diskusi) diketuai oleh Lutvi (UIN). Sama halnya dengan devisi Ubudiyah, pengambilan nama devisi Ta’limiyah juga menjiplak dari nama lembaga khusus di pesantren yang menangani jalannya penambahan ilmu, pengembangan wawasan  dari khazanah kitab-kitab klasik dan juga pengajian al-Qur’an yang tentunya melibatkan guru-guru senior yang memumpuni dimasing-masing bidang.
Kedua devisi di atas memiliki harapan besar akan adanya muhafadzoh terhadap tradisi lama yang baik demi melestarikannya agar tetap eksis. Sedangkan untuk yang terakhir (ketiga) adalah Devisi Bisnis yang secara kelembagaan dalam pesantren tidak diikutsertakan. Inilah yang kemudian disepakati sebagai akhdu bil jadid yang baik agar persaingan dan tuntutan zaman tidak dihiraukan dan dianggap silau. Di devisi ini sengaja Zainuddin yang dulunya adalah santri LPPS asal Jeruk dipilih sebagai ketuanya. Sebab, selain menempuh jurusan Ekonomi Syari’ah, Udin (panggilan akrabnya) juga telah bergelut di dunia bisinis, yaitu perdagangan pulsa. Tentunya dia memiliki wawasan lebih dalam masalah perekonomian wa akhwatuha.
Demikian susunan kepengurusan yang telah dibentuk. Selanjutnya, ada anggota IMAS yang nama-namanya tidak disebutkan di atas. Mereka ada yang kuiah di UIN, UNISMA, dan UM. Sebenarnya ada juga yang kuliah di luar tiga kampus yang telah disebutkan. Salah satu diantaranya adalah Saiful yang di pondok pesantren dia lebih akrab dengan sebutan Yek Sipul. Dulunya dialah yang mencoba menghidupkan nilai-nilai pesantren bersama Tamimullah, Dayat dan Ulil. Namun, dengan berlalunya waktu, estafet tak berjalan mulus hingga terjadilah masa terputusnya regenerasi IMAS di Malang.
Kini, angkatan 2009, 2010 dan 2011 mencoba menghidupkan kembali IMAS Malang setelah sebagian diantaranya telah mengikuti konsolidasi IMAS yang dilaksanakan awal bulan Januari 2012 di Bangkalan. Saat konsolidasi dihadiri beberapa perwakilan dari Surabaya, Pasuruan, Jember, Banyuwangi, Malang. Teman-teman alumni dari Bangkalan mendominasi forum saat itu.
Meskipun ini hanya catatan pribadi, semoga dapat menjadi catatan awal dalam perjalanan IMAS Malang ke depan. Sebagai pelaku sejarah, sangat disayangkan jika tidak ada peninggalan sejarah dalam bentuk tulisan yang selanjutnya akan dijadikan bahan referensi oleh generasi berikutnya. Memang, ini sangat berkaitan erat dengan idealisme pribadi masing-masing anggota, tapi apakah hanya akan menjadi sejarah di atas hembusan angin?
Penulis yakin bahwa perubahan zaman akan mendesak santri-santri untuk turut bermain di dunia perkuliahan. Tidak bermaksud untuk memprovokasi para teman-teman santri, tapi sejarahlah yang kemudian hari akan menjawab semua ini. Semoga ini menjadi langkah awal untuk IMAS Malang. Harapan besar dari teman-teman IMAS adalah ridho masyayikh. Semoga tetap berusaha untuk menjadi santri haqiqi. Wallahul Musta’an. [roy]

M. Roihan Rikza, selesai diketik dan diedit pada hari Jum’at 20 April 2012. Pukul 07.40

Negeri 5 Menara; Nostalgia dan Pengenalan Dunia Pesantren (Hanya Sebuah Catatan)

Pada Senin malam, hari ke-5 peluncuran film Negeri 5 Menara karya A. Fuadi, aku memiliki kesempatan untuk menontonnya di bioskop Mandala. Aku menontonnya sendirian ditengah-tengah puluhan orang-orang yang tak kukenali. Mereka yang menonton, termasuk diriku, menikmati film berdurasi hampir dua jam yang baru diluncurkan sejak tanggal 1 Maret.
Film tersebut membuatku teringat dunia pesantren yang hampir 3 tahun kutinggalkan. Hiruk pikuk dunia pesantren modern yang tidak saja mengajarkan ilmu diniyah –layaknya pesantren tradisional atau yang lebih akrab dengan sebutan pesantren salaf— tapi juga pengembangan ilmu pengetahuan sebagai bentuk apresiasi terhadap perubahan zaman, ditampilkan dengan gaya sederhana namun sarat makna.
Alif, sebagai tokoh utama, menjadi backround perjalanan seorang santri perantauan yang pada mulanya tidak ingin mengetahui seluk beluk pesantren dan cenderung mengikuti arus formalitas dan globalisasi. Ini merupakan gambaran yang sudah wajar digandrungi pesantren manapun yang santrinya memang rata-rata adalah perantauan atau setidaknya luar kota dan minimalnya adalah pendatang dari kampung sebelah.
Penataan skenario aktifitas pesantren sangat mengagumkan. Persis seperti kegiatan pesantren pada umumnya. Tentu, film ini akan menjadi semacam pemutaran kenangan bagi para alumninya. Apalagi pesantren yang namanya dirubah menjadi “Madani” itu adalah salah satu pesantren ternama di Indonesia. Khas pesantren yang sudah populer ini adalah kemodernan. Sebutan Pondok Gontor lebih sering terdengar telinga dari pada nama asli pondok pesantren itu sendiri: Darus Salam.
Sisi lain dari penulis catatan ini yang berlatar belakang pesantren tradisional atau salaf, tentu terletak pada perbandingan-perbandingan nyata. Sejak pertama kali melihat pakaian yang dikenakan para santri di pesantren Madani, tentu hati ini hanya tertawa kecil sambil mengingat-ingat kembali serpihan kenangan di pesantren. Jika di pondok Madani, para santrinya memakai pakaian polos berwarna orange dan celana hitam tanpa peci, saat sekolah, maka di pesantrenku, santrinya mengenakan seragam sarung warna hijau, baju takwa dan kopyah putih. Perbedaan itu sangat unik.
Yang menjadikanku lebih terkesan dengan film yang menceritakan kisah persahabatan 6 santri yang memiliki cita-cita menjadi orang besar adalah pada sosok Alif yang menjadi seorang jurnalis pesantren. Hobinya, menulis, mengantarkannya pada cita-cita yang telah disepakati bersama di bawah menara dekat masjid Madani bersama 5 sahabat lainnya. Keinginannya untuk menjadi seorang fotografer juga telah membuka jalan baginya untuk mengenali sosok cantik keponakan kyainya.
Tak kalah seru dari peran Basho sebagai santri yang tekun dan rajin. “Man Jadda wa Jada” menjadi semacam obat bius yang memilik efek samping semangat yang menggebu. Namun, sayang, Basho tidak memiliki kesempatan lebih lama tinggal di pesantren dari pada ke lima temannya yang mampu merampungkan perjalanan di pesantrennya dengan prestasi drama terbaik di masanya.
Basho harus pulang kampung karna neneknya sakit keras. Dalam adegan ini, penonton sudah dapat membaca alur cerita yang terlalu menyinetron. Tapi , toh tak sedikit yang terharu dengan alur cerita yang sudah menjadi makanan tiap malam dalam adegan-adegan ‘lebay’ di acara televisi bertajuk sinetron semacam “Putri Yang Tertukar”.
Selain kedua tokoh (Alif dan Basho), ada pula tokoh yang turut menjadi motivator. Namun, keduanya lebih dominan dalam penokohan. Apresiasi untuk film ini, menurut penulis, lebih dominan ancungan jempol pada rekayasa dunia pesantren. Namun, sayang seribu sayang –dan ini yang juga komentar beberapa teman yang sudah menontonnya—bahwa ending dari film ini cukup mengecewakan. Semacam ada adegan yang terhapus, meskipun pada realitanya memang tak diputar.
Namun demikian, karya sejelek apapun yang telah dipublikasikan, akan terasa lebih baik dari pada memiliki karya, akan tetapi hanya tersimpan dan cenderung dinikmati diri sendiri. Wallahu a’lam. [roy]
M. Roihan Rikza, selesai diketik pada hari Selasa, 10 April 2012. Pukul 13.25 WIB “Setelah bulan tersingkap, masih saja ada kenangan itu. Saatnya untuk ditampilkan!”

Egois!

Ah taik !
Anjing !
Mungkin juga jancok ! (yang aku sendiri tak tau apa itu artinya)
Persetan dengan semua ini …
Hampir saja kata-kata itu tersebar lewat sms buat A.2, karna aku kecewa tiada seorang yang mendapat arisan kali ini.
Nantikan cerpen ‘Egois’. Bisa dibaca di akun facebook Royhan Rikza/ www.cakroy.blogspot.com
Begitulah aku ketik dengan jempol tangan kananku sms tersebut pada hari senin 19 Maret 2012. Kukirimkan sms itu kepada teman-teman kelas PKPBA A.2. Spontan saja sms tersebut mendapat tanggapan. Tentu tanggapan itu akibat dari kata-kata yang –menurut kebanyakan orang— dianggap tak beretika. “Mulutnya tuh disekolahin”, salah satu tanggapan yang muncul di layar HPku. Ada yang bersikap adem ayem sembari menanyakan latar belakang adanya sms tersebut. Yang terakhir ini, mungkin ingin memahami sedikit banyak tentang hadirnya sms yang masuk di HPnya itu.
Balasan sms lainnya ada yang menyuruhku agar tak mengsmsinya lagi jika ada kata-kata yang kotor. Semua sms balasan kutampung dalam HP yang tentunya setelah smsku masuk terlebih dahulu di HP teman-temanku.
Mulanya, aku mendapat informasi bahwa tidak ada yang mendapat uang kocokan arisan yang dibagikan pada hari Senin 19 Maret. Saat itu, aku baru bangun tidur dengan setengah sadar dan masih terbayang-bayang mimpi. Tanpa pandang bulu, sms yang kubuka langsung kutanggapi dengan emosi yang tiba-tiba saja memuncak. Entah karna apa, tiba-tiba saja aku ingin mengetikkan sebagaimana yang tertulis di bagian atas.
Sehari sebelumnya, aku memang mengkhatamkan sebuah novel Ayu Utami berjudul Kisah Cinta Enrico yang bertemakan “Kebebasan”. Barang kali, salah satu faktor munculnya sms tersebut adalah pengaruh bacaan dari novelku itu. Bagi yang masih alam pikirnya masih belum terbuka dan cenderung memakai kearifan batin yang masih tertutup dengan fenomena nyata, tentu kata-kata di atas sangatlah  tak patut untuk diucapkan seseorang, utamanya yang agamis. Itu masih mungkin, tapi kebanyakan akan menilai kata-kata tersebut tak pantas diucapkan.
Diakui atau tidak, indikasi keegoisan dalam kata-kata tersebut sangatlah nampak. Tapi bukan tak beralasan selain karna pengaruh bacaan. Tekanan batin yang mendorong untuk memuncakkan emosi, dapat pula menjadi penyebab hadirnya rangkaian sms tersebut. Mungkin ini akan dikatakan egoisme, jika tak mau dikatakan sebagai penjustifikasian terhadap apa yang telah ‘difatwakan’.
Ini hanya tulisan yang sengaja kuungkapkan dengan emosi yang sangat tinggi. Kegeramanku kepada teman-teman yang tak mau berpayah-payah, menurutku, membuatku naik darah. Andai saja seluruh temanku adalah lelaki yang jantan, kupastikan akan kumaki-maki dia dengan kata: “Anjing Lue!”. Jika kemudian tidak terima, maka akan terjadi perkelahian antar teman. Itu mungkin yang kuharapkan biar sama-sama menunjukkan kejantanan lelaki! Aku muak dengan semua ini!
Terlalu egois, memang, tapi kapan lagi aku dapat mengungkapkan tulisan dengan berapi-api yang membara di dalam dada seperti saat aku mengetikkan semua ini. Ini hanya satu catatan yang berhasil dituangkan. Jika saja semua –sepertinya tak mungkin dapat dituliskan semua— bara api kejengkelanku tertuang dalam catatan seperti ini, pembaca, teman-temanku, keluargaku, pejabat dan lain sebagainya akan mencoba menggambarkan pula rasa jengkel yang sama. Tapi hanya sebagian orang saja yang mau menuliskan apa yang dirasakan pahit oleh seseorang. Selebihnya, alangkah baiknya jika itu dapat dikubur dalam dada. Tentu sangat menyakitkan.
Tapi inilah manusia yang akan selalu berpura-pura, berubah dan mengalami sakit jiwa dadakan. Sebab manusia memiliki hati tak menentu dan tak pasti. Bukan berarti ini sudah paten. Manusia masih memiliki niat atau kemauan kuat. Semoga saja ini ditulis kala sakit jiwa itu datang dan ada niat baik untuk berubah. Wallahul Hadi. [roy]