Selasa, 08 November 2011

3 Buku, 3 Renungan dan 3 Obsesi


Usai perjalanan pulang dari kampus, aku tak langsung tidur seperti hari-hari sebelumnya karna kecapaian. Aku mencoba kembali menggairahkan semangat membacaku. Setelah beberapa waktu malas membaca, kali ini aku mencoba mendekati buku-buku yang kumiliki. Kusempatkan diriku untuk membaca sebuah novel dwilogi Padang Bulan karya Andrea Hirata yang berdiam manis di atas kasur kamarku. Sebuah novel bolak-balik dengan dua judul (Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas) yang kubeli pada hari Kamis, malam Jum’at tanggal 29 September 2011 di Wilis.
Aku hanya membaca satu bab awal dengan judul Lelaki Penyayang dari judul buku Padang Bulan – sedangkan judul buku Cinta di Dalam Gelas sudah lunas kubaca seluruhnya. Dalam satu bab tersebut ada kata-kata yang kuberi tanda sebagai salah satu kata pilihan yang cukup mengusik hati, menurutku. “Semua taktik yang merugikan diri sendiri itu, jika boleh disebut dengan satu kata, itulah cinta”, tulis Andrea Hirata yang mengisahkan tentang kasus awal percintaan antara Zamzami dan Syalimah.
Bagian lain pada bab awal, Hirata menggambarkan Syalimah sebagai sosok perempuan yang sangat beruntung sekali mendapatkan suami Zamzami yang penyayang terhadap keluarga. Untuk itulah kemudian Syalimah mau menikah dengan Zamzami mekipun tak ada yang dapat diharapkan dari seorang Zamzami. Bagi Syalimah, keberadaan Zamzami itu sendirilah yang amat berharga dalam kehidupannya. “Sejak mengenal Zamzami, Syalimah tahu ia akan bahagia hidup bersama lelaki itu, meski ia juga mafhum, ada satu hal yang harus selalu ia hindari: minta dibelikan apa pun. Sebab lelaki baik yang dicintainya itu hanyalah lelaki miskin yang berasal dati keluarga pendulang timah”.
Buku lain yang turut kubaca siang itu adalah karya Mohammad Fauzil Adhim dengan judul Indahnya Pernikahan Dini. Buku tersebut baru kubeli pada hari Senin malam Selasa tanggal 31 Oktober 2011 di Matos yang kebetulan sedang obral buku. Tentu saja buku itu, sebelum dibaca, dapat dipahami tentang isi di dalamnya. Aku hanya ingin melanjutkan bacaan pada bab pertama yang tadi pagi sudah kubaca separuh lebih, tapi belum sampai tuntas.
Pada bab pertama yang berjudul Nikah Dini? Mengapa Tidak? Ada satu catatan yang kutandai dengan warna kuning terang: “Demikianlah, kecuali jika Anda sendiri sampai hari ini lebih suka membanggakan apa yang diraih orang tua, bukan apa yang Anda usahakan. Ini karena seperti kata Sayyidina Ali karramallahu wajhahu, “Bukan pemuda, mereka yang berkata inilah bapak saya. Akan tetapi, sesungguhnya pamuda adalah yang berkata, ‘Inilah dadaku’ (Laisa fataa man yaquulu kaana abi, wa innamal fataa man yaquulu ha ana dza).” Sebuah pernyataan yang menggambarkan kehidupan masa muda dengan melatih untuk mandiri tanpa menggantungkan kepada orang tua, utamanya untuk lelaki.
Setelah bab pertama selesai kubaca, lalu kuloncati pada pembahasan pada bab lain yang judulnya kulihat di daftar isi buku tersebut. Ada satu judul menarik yang kubaca dan kemudian kulanjutkan dengan membaca isinya. Lebih dari Sekedar Cinta, Ada Alasan yang Lebih Tinggi untuk Menikah, begitu judul yang mengusik benak pikiranku untuk membacanya, namun tak seperti yang kubayangkan. Isinya tak seperti yang kuharapkan.
Namun, pada ulasan dalam judul yang kubaca tersebut, ada yang patut digaris bawahi bahwa seseorang yang menjalin hubungan cinta atas dasar ketertarikan fisik dan dorongan seksual –atau disebut infatuation kata Robert J. Stemberg dalam penelitiannya—maka cinta semacam ini tidak disertai kemesraan dan komitmen. “Inilah cinta pada pandangan pertama”, kata Papalia dan Olds. Selanjutnya, Adhim menjelaskan “Apa yang dibayangkan oleh mereka yang sedang mabuk cinta karena pandangan pertama sebagai kemesraan bukanlah kemesraan, melainkan erotisme. Cinta semacam ini mudah menyala dan mudah padamnya.” Itu hanya salah satu model cinta. Masih ada lagi ulasan lain tentang model-model cinta dari hasil riset para psikolog.
Buku terakhir yang kubaca adalah buku catatan harian seorang Ahmad Wahib yang berjudul Pergolakan Pemikiran Islam. Buku tersebut kubeli di Togamas, Dieng, pada hari Kamis malam Jum’at 3 November 2011 seharga tiga puluh empat ribu rupiah. Itulah buku terbaruku saat ini. Sebuah buku dan nama penulisnya, kukenali sekitar 5 bulan yang lalu dari kata pengantar buku Catatan Seorang Demonstran –berisi tentang catatan harian aktivis kampus, Soe Hok Gie, tahun 1965.
Buku catatan harian Ahmad Wahib ini, diantara isinya, merefleksikan gejolak pikirannya tentang relevansi Islam masa kini dengan mengkaitkannya pada sejarah Nabi Muhammad saw mencakup budaya, teologi, fiqh, politik, dan kenegaraan. Sebuah pemikiran yang akan menggerogoti otak sampai-sampai akan menimbulkan rasa sakit dalam isi kepala itu jika saja tak kuat menahan kegelisahan untuk segera menemukan jawaban-jawaban yang benar-benar masuk akal.
Namun, seperti pemuda pada umumnya, Ahmad Wahib tidak hanya terserang semacam ‘skizofrenia1 Islam’ saja, dia juga mengalami kegundahan hati tentang seorang perempuan yang dicintainya. Salah satu judul tulisan Tentang Dia yang Kucintai berisikan tentang keinginannya untuk hidup bersama dengan kekasihnya, namun Wahib masih dibebani keragua-raguan tentang kesanggupan memenuhi tanggung jawab yang harus diembannya. “Hatiku selalu diliputi keragu-raguan. Ragu-ragu antara dorongan ingin memadu hidup bersamanya dengan perasaan kuatir akan kemampuan diri bisa memberikan kebahagiaan kepadanya. Aku ragu-ragu setelah memawas diriku sendiri. Apalagi bila aku melihat pemuda-pemuda yang pernah mendekatinya dan gagal. Mereka adalah orang-orang yang lahiriah-batiniah, luar dan dalam, jauh melebihi aku. Lihatlah tampannya, cara-cara bergaulnya, ketaatan beragamanya, akhlaknya, apalagi kekayaannya. Dalam masalah terakhir ini sebetulnya kalau aku hendak seperti pemuda-pemuda lain, kiranya tak akan begitu sukar.”
Seperti itulah aku menarik benang merah dalam pembacaanku kali ini. Ada satu kesimpulan tersendiri dalam tiap bacaanku. Mungkin juga pembaca tulisan ini yang juga akan menarik pemahaman tertentu dari hasil rekayasa tulisan ini. Namun, tiada maksud untuk mengompori kelompok tertentu atau individu secara khusus. Hanya inilah kemampuanku dalam menghadirkan karya tulis pada kesempatanku kali ini.
Hanya Sebuah Mimpi
Sambil sesekali kubaca buku-buku yang telah disebutkan di atas dan buku-buku lainnya yang berserakan di kamarku, aku mencoba merenungi hasil pemikiran para penulis buku. Betapa banyak ilmu yang kuserap tiap kali membaca buku. Namun, diri ini masih saja merasa kurang puas dengan bacaan-bacaan yang ada. Semakin banyak yang dibaca dan dipahami, semakin besar rasa penasaran pada bacaan-bacaan yang masih belum terbaca. Betapapun usaha, tenaga, pikiran dan waktu yang digunakan untuk membaca, masih tersisa milyaran kata yang belum terbaca. Inginnya hati adalah untuk menguasai semua bacaan. Melahap sampai mati, tapi tetap saja sulit.
Dari tiga buku di atas yang berbeda judul dan tema, tentu ada nilai atau hasil perenungan tersendiri dari masing-masing buku yang kubaca. Buku yang pertama, tentu sangat berkaitan erat dengan informasi-informasi, bahkan dapat dipastikan inklusif pada wacana sastra. Buku yang kedua mengandung intisari motivasi untuk menjalani pernikahan yang baik dan benar di masa muda atau di saat kuliah. Sedangkan buku yang ketiga adalah upaya untuk me refresh Islam yang mengharuskan otak untuk lebih giat dan liar dalam merenungi hakikat Islam. Sebuah pemetaan yang mengharuskan otak membuat garasi-garasi baru agar tidak bercampur aduk dalam satu bagan.
Entah, apa yang sebenarnya ingin dicari dari ketiga buku yang kubaca tersebut. Kubiarkan saja mata ini menikmati bacaan-bacaan yang secara tak langsung telah memberi gizi pada otakku. Di lain waktu yang mungkin hanya selisih beberapa jam, bahkan mungkin tak sampai satu jam, isi kepala mencoba merefleksikan putaran-putaran hasil bacaan yang kemudian sampai pada pemetaan masa yang akan datang: “Apakah nantinya aku akan jadi sastrawan, motivator atau seorang pemikir?”. Dari sinilah kemudian antara mimpi dan obsesi berkecamuk dalam dada sekaligus pikiran bak mesin penggiling padi yang hanya bekerja di musimnya. Setelah musim panen berlalu, maka hanya akan menjadi mesin usang di gudang-gudang padi.
Jika dalam catatan hariannya, Ahmad Wahib pernah menuliskan “Aku bukan nasionalis, bukan katolik. Aku bukan budha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin bahwa orang memandang dan menilaiku sebagai suatu kemutlakan (absolute etity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia bagai manusia”, lalu apakah bisa, antara sastrawan, motivator dan pemikir digabungkan menjadi satu kesatuan yang utuh? Sedangkan jalan untuk berproses diantara ketiganya berbeda meskipun tujuannya adalah sama-sama menyampaikan pendapat? Entahlah. Yang lebih penting dari dari ketiganya adalah antara mau dan tidaknya mau dan mampu untuk berproses. Ini semua adalah mimpi. Wallahul Musta’an.[roy]
 
M. Roihan Rikza, selesai diketik pada dari Senin, 7 November 2011 (awal mula diketik pada hari Sabtu, 5 November). Pukul 08.41 WIB. “Aku malu dilirik oleh gerombolan buku-buku di rak yang mulai diselimuti oleh debu-debu tipis”

1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, skizofrenia berarti penyakit jiwa yang ditandai oleh ketidakacuhan, halusinasi, waham untuk menghukum, dan merasa berkuasa, tetapi daya pikir tidak berkurang. Istilah tersebut kutemukan dari sebuah buku berjudul Agama Skizofrenia. Untuk lebih detailnya, insyaallah akan saya paparkan resensinya di lain kesempatan dan di lain pembahasan.

Mahasiswa Ngalem: Sebuah Catatan tentang Mahasiswa Manja


Berawal dari kekecewaanku terhadap teman-temanku sejurusan yang tak mau menindak-lanjuti pesanan bukunya. Teman-teman sejurusanku dari tiga kelas A, B, dan C terhitung sekitar 60 lebih yang memesan buku dengan harga yang relatif murah. Buku yang kukordinir kali ini adalah Fiqh Lughah yang ditulis oleh dosen yang mengajarkan mata kuliah Ilmu Lughah, Ustadz Uril Bahruddin, di jurusanku. Dari beliaulah buku yang kukordinir itu menjadi murah dengan harga dua puluh ribu rupiah. 50% lebih murah dibanding harga aslinya, empat puluh ribu rupiah. Dari murah meriahnya buku itulah kemudian teman-teman sejurusanku berbondong-bondong untuk memesannya hingga aku harus kembali dua kali ke percetakan UIN Press untuk memesan dan mengambil kepada petugas percetakan.
Namun, amat disayangkan, setelah berlelah payah membawa tumpukan buku yang tak kurang dari 5 kilogram, hanya beberapa orang saja yang mau mengambilnya setelah kuumumkan untuk segera diambil.
Puncak kejengkelanku terhadap teman-teman yang tidak segera mengambil buku pesanan, meledak kemarin siang, (Senin 24 Oktober 2011), usai mengerjakan soal Ujian Tengah Semester (UTS). Alis mata kanan dan kiriku hampir menyatu karna keningku mengkerutkan dengan penuh kobaran api kemarahan: sebagai tanda aku tak suka dengan adegan semacam itu. Mulutku tiada henti komat-kamit menyumpah-serapahi teman-teman sejurusanku. “Asem! Udah difasilitasi, malah ngalem”. Sesekali aku smsi temanku dengan kata-kata kekecewaan.
Entah, apa sebenarnya yang dipikirkan mahasiswa saat ini yang sepertinya sudah harus serba mewah dan instan. Apa mereka tak pernah memikirkan masa lalu ya? Sebuah masa yang informasi serba terbatas, alat komunikasi hampir seribu banding satu, dan keilmuan sulit untuk diraih, namun dengan semangat yang membara, para pemuda dan pemudi masa lalu sangat antusias baik dalam waktu, alat, dan keilmuan itu sendiri. Ironis!
Aku tak ingin marah kepada teman-temanku yang emang takkan mungkin cukup hanya dimarahi. Sebab, mereka sudah besar dan sudah dewasa. Lebih mudah dan merasa nyaman mengatur anak-anak ingusan di bangku TK dari pada menggerakkan mahasiswa saat ini. Aku hanya ingin menyadarkan mereka agar tak terlalu terlena dengan kemewahannya. Pun aku yang hanya mengendalikan mereka lewat sms, bukan berarti juga nyaman, tapi aku harus merasakan beban pikiran.
Semoga yang membaca catatan ini, jika memang mahasiswa dari jurusan manapun, kampus manapun, apalagi dari teman-teman jurusanku yang kebetulan terkena legitimasi isi catatan ini, menjadi lebih prihatin dengan nasib mahasiswa saat ini. Tiada maksud untuk menyindir, mengklaim, memvonis, atau apapun itu namanya. Aku pun mengakui tentang keberadaanku yang juga manusia yang ada salah lupanya. Jika aku ada salah kurang dan lupa, aku juga berharap ada yang mau mengingatkanku. Aku hadir bukan sebagai malaikat. Aku juga manusia biasa seperti para pembaca, tapi aku ingin merekam semua peristiwa hidupku meskipun amat sulit, bahkan mustahil.
Mengakhiri catatan ini, aku teringat sebuah kritikan ‘pedas’ dari salah seorang aktivis Islam saat aku menanti teman-temanku di masjid Ulul Albab untuk membagikan buku Psikologi Pendidikan. Dengan suara halus dan lembut seseorang tersebut mengatakan padaku “Saya pernah mengetahui keterangan hadis shahih bahwa jika ada seseorang yang membicarakan masalah dunia di masjid, maka dia akan merugi”. Dikiranya aku sedang melakukan transaksi jual beli buku di masjid tersebut. Ah… paling tidak aku telah disadarkannya. [roy]

M. Roihan Rikza, selesai diketik pada hari Selasa 8 November 2011. Pukul 08.43 WIB. “Ada-ada saja warna-warni hidup ini. Warnai hidup! Jangan hidup diwarnai!”

Sabtu, 15 Oktober 2011

Dunia Bisnis

Pernah suatu saat, Dosen yang mengajariku mata kuliah Psikologi Pendidikan menyatakan bahwa usia 21-23 tahun adalah masa dimana seseorang memiliki sifat yang cenderung malu untuk meminta uang kepada orang tua dan ingin berusaha mencari uang sendiri untuk kebutuhan hidupnya. Tentu dengan cara yang halal.
Pada realita yang kualami memang demikian. Sejak memasuki smester 3, aku mengalami revolusi bisnis yang super gila. Berbagai bisnis mewarnai dunia perkuliahanku. Memang, sejak smester 1 aku sudah memasuki dunia bisnis dengan menjual pulsa kepada rekan-rekan di kampus. Lebih dari dua ratus nomor hp ku-smsi untuk mempromosikan produk pulsaku. Promosiku cukup unik, “Tidak usah jalan ke conter. Cukup dengan kirim sms nomor tujuan dan nominal yang diinginkan serta bisa dihutang kapan saja” adalah promosi yang paling disukai dan diminati kalangan mahasiswa yang hidup pas-pasan.
Namun, bisnis yang diperhutangkan itu cukup membuat pening kepala. Saat teman-teman menghutang tanpa diketahui kapan akan diserahkan uang pulsa tersebut, akan menjadikan bisnis macet. Uang yang seharusnya didaur ulang atau berputar, justru harus terhenti entah sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Hal yang semacam inilah yang kemudian menjadi beban pikiran. Namun, anehnya, justru pengalaman yang seperti inilah yang memiliki potensi besar untuk membentuk karakter, sikap dan bertindak yang lebih dewasa.
Pada kesempatan disemester tigaku, aku mempersempit objek pelanggan pulsa. Sebab, ada beberapa orang yang menghutang pulsa, namun sampai penulisan ini rampung, orang yang menghutang belum tersadarkan oleh hutangnya. Entah memang lupa atau dilupakan, yang jelas aku sudah memberi peringatan. Aku hanya bisa bersabar dan berusaha mengikhlaskannya. Tapi terasa sulit. Memang beginilah manusia. Lebih mementingkan dan mengutamakan masalah dunia dari pada akhirat. Patut diwajari, tapi tidak berarti dibiarkan begitu saja.
Aku hanya mempromosikan kepada teman-teman sejurusan, teman kelas di PKPBA (Program Khusus Pengembangan Bahasa Arab) yang berjumlah 36 orang, dan teman-teman di organisasi, baik intra maupun ekstra kampus, serta teman-teman dekat yang patut untuk diamanati. Jadi, untuk objek penjualan pulsa kali ini memang agak sempit. Namun, meskipun sedikit, tidak mengurangi jatah perjalanan bisnisku. Patut disyukuri.
Sebenarnya, sejak awal kuliah, aku tidak hanya jualan pulsa. Pernah aku menjual buletin seharga 11 ribu. Saat itu aku masih belum memiliki banyak teman. Aku mempromosikannya keapada teman-teman kelas. Aku hanya membawa lima eksemplar buletin. Tapi, hanya dua buletin yang laku. Itupun setelah dihutang selama kurang lebih satu bulan.
Pernah pula aku menjual obat mata dan kosmetik. Sasarannya juga teman-teman kelas. Namun bisnis semacam ini tak terlalu diminati oleh teman-teman. Sebab, selain harganya cukup tinggi, rata-rata teman kampusku juga merupakan konsumtor tingkat menengah ke bawah yang tidak bisa semena-mena membeli barang semaunya. Harus mikir tujuh kali, bahkan mungkin melakukan shalat istikharah terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk membeli barang.
Tidak hanya itu saja, memasuki semester dua aku mulai melebarkan sayap bisnisku. Tekadku semakin meruncing. Mau tidak mau aku harus menyelami dunia bisnis yang memang memberikan keuntungan materi. Secara pribadi, aku memang bisa dikatakan anak orang yang mampu. Namun, aku menginginkan yang lain dari keberadaan anak orang mampu. Aku ingin mandiri dan melatih mental serta mencoba menghayati kehidupan masa depan yang dapat direfleksikan di masa kuliah.
Pada satu kesempatan, aku oleh teman kamarku ditawari untuk menjual nasi goreng dengan harga yang relatif murah. Tiga ribu per bungkus. Sangat pas sekali jika yang menjadi konsumtornya adalah teman-teman kuliah yang tinggal di asrama. Spontan saja aku tertarik untuk melakukan bisnis semacam ini. Objek utama penjualannya adalah teman-teman asrama laki-laki. Akan tetapi, dengan perjalanan waktu, aku juga menambah order objek dengan menghubungi teman-teman perempuan yang berada di asrama putri.
Keuntungan menjual nasi goreng mengucur bak air keran. Keuntungan penjualan nasiku sering kali kubelikan buku setelah ditotal bersih. Maksud bersih disini setelah aku membagi dua hasil penjualan dengan temanku dan telah disumbangkan pula untuk bancaan atau yang seirama dengan istilah tasyakuran dan selametan bersama teman-teman kamar. Bahkan, pernah pula aku menggunakan hasil keuntunganku tersebut untuk perjalanan ke Jogja dalam rangka peliputan hari Waisak di candi Borobudur.
***
--“Narasi sastra percobaan”
Hari demi hari disemester tiga kulewati dengan penuh semangat baru. Lembar-lembar digital mulai terisi dengan catatan-catatan harian yang terkadang membikin hati terketuk untuk mempertanyakan: untuk apa aku melakukan semua ini? Untuk siapa aku melakukan hal semacam ini? Ada gunakah aku memeras otakku dengan menggilas kata perkata yang kemudian menjadi kalimat?
Pikiranku semakin tak karuan. Hati seperti diperas kuat oleh kekuatan yang tak dapat dipahami apa maksud pemerasan tersebut. Angan hanyalah angan yang tak dapat direalisasikan seutuhnya. Itulah hebatnya angan yang sebagian orang dikata impian.
Entah aku memimpikan apa hingga membuat langkahku untuk selalu, selalu dan terus berkeinginan memasuki dunia bisnis. Beberapa orang menawariku untuk mengikuti MLM (Multi Level Marketting) yang mengharuskan mencari rekan sebagai anak buah dan menjadikan aset perputaran uang. Semakin lincah seseorang mengumpulkan banyak orang, semakin cepat pula perolehan uang. Penawaran seorang teman kepadaku tak lepas dari kepribadianku yang mudah melakukan komunikasi dengan segala macam jenis manusia. Tapi, sayang, aku tak begitu minat mengikuti bisnis semacam ini.
Aku lebih suka dengan bisnis yang memang membutuhkan kerja keras, meskipun tak dapat dielakkan bahwa dengan berpikir pun seseorang juga dapat menghasilkan uang. Ya, orientasinya hanyalah uang, uang dan uang. Dunia, dunia, dan dunia yang entah sampai kapan kepuasan itu akan berakhir.
Zaman Akhir dan Akhir Zaman
Gila dunia. Mungkin itulah yang benar-benar merasuki jiwa. Pikirku hanya uang yang dapat menuntaskan segala masalah di dunia ini. Telah jelas datang masa yang diprediksikan oleh orang-orang terdahulu bahwa kehancuran manusia diantaranya adalah mencintai dunia. Entah, aku sendiri apakah benar-benar mencintai dunia atau tidak.
Dalam tulisannya yang tertuang dalam buku yang berjudul Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, Dr. Adian Husaini mengutip pernyataan M. Natsir yang merupakan pesan kepada Dr. Amien Rais dan kawan-kawan pada tahun 1986, bahwa “Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia.” Kata Natsir lebih lanjut: “Di Negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang “baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian elite masyarakat). Tetapi, gejala yang baru ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.” 
Catatan itu sebenarnya untuk mengkritisi generasi bangsa yang memang sudah tak peduli lagi dengan nasib bangsanya. Lebih cenderung untuk mementingkan diri sendiri dari pada orang lain. Itulah yang kemudian kukhawatirkan dengan keadaanku saat ini. Namun, kegiatanku untuk menumpuk uang adalah untuk belajar mandiri. Aku laki-laki yang tentunya kelak, saat mengarungi hidup baru, akan memikul tanggung jawab yang lebih besar yang tidak hanya berkaitan dengan batin saja, tapi juga kebutuhan materi. Selain itu, aku juga ingin mengumpulkan serpihan pengalaman di dunia perkuliahan.
Dunia bisnis di lingkungan perkuliahan sebenarnya mudah ditemui, namun jarang yang mau dan bisa menemui. Jika hanya untuk sampingan tanpa menjadikan tujuan dalam berbisnis, itu lebih baik. Sebab tujuan ke kampus adalah untuk menuntut ilmu. Lebih mahal lagi adalah dengan menumpuk pengalaman saat kuliah. Bagaimanapun, pengalaman jauh lebih berharga dari pada hanya sekedar duduk dalam  kelas saat kuliah.
Mengakhiri catatan ini, sekali lagi, alangkah baiknya jika dunia bisnis saat kuliah disadari sebagai sampingan, bukan tujuan. Kuliah yang akademis memang harus diutamakan tanpa memungkiri kegiatan lainnya. Membagi waktu tidaklah mudah, tapi dengan tekad yang bulat dan semangat yang menggelora, apapun bisa diatasi. Semoga catatan ini bermanfaat bagi para pembaca.
M. Roihan Rikza, selesai diketik pada hari Ahad 9 Oktober 2011. –untuk yang gila akan pengalaman—   

Kamis, 01 September 2011

Tentang Cinta

Suatu saat saya pernah mendapat pernyataan dari salah seorang teman bahwa: “mencintai itu mudah, tapi mencari yang tepat buat dicintai itu sulit”. Kemudian timbullah sebuah perenungan dari pernyataan tersebut yang saya simpulkan bahwa: “setia untuk satu cinta itu adalah tantangan”.
Memang, dari dua ungkapan tersebut sepertinya, bukan, bukan hanya sepertinya, tapi memang tak sealur dan serasa. Bagai gula dengan jamu atau madu dengan racun. Tak dapat digabungkan. Namun bukan berarti kabur dari konsekuensi arti cinta yang seharusnya terdapat dua ungkapan di atas dan masih banyak lagi ungkapan tentang cinta yang sangat relatif.
Siapapun boleh mengartikan cinta. Satu orang dengan yang lainnya yang sedang merasakan cinta takkan sama dalam mengungkapkan arti masing-masing cintanya. Mungkin ada yang akan berkata bahwa cintanya adalah bentuk kesetiaan, cintanya adalah dengan perhatian yang lebih, cintanya adalah saat sedang bersama baik suka maupun duka dan masih banyak lagi ungkapan yang seolah takkan basi meskipun harus terulang ribuan, bahkan sampai jutaan kali.
Bagaimana tak bosan dan tak jenuh anak cucu Adam ini membincangkan cinta. Dari masa ke masa cinta tak ubahnya bayi lahir yang terus menerus mewarnai bumi dengan berbagai macam bentuk dan latar belakang yang saling melengkapi. Tak pernah jenuh untuk diperdebatkan dan takkan bosan untuk dijadikan topik utama dari generasi ke generasi. Itulah dahsyatnya cinta.
Berbincang tentang cinta, maka juga berdebat dengan batin tentang perasaan. Dalam bercinta, perasaan takkan pernah menemukan ketenangan. Gundah gulana, gelisah dan bingung adalah makanan keseharian bagi pemodal cinta.
Saat ini, teman-teman kampus seangkatanku yang mengenalku, utamanya yang sejurusan, banyak yang menanyakan kisah percintaan seseorang yang berinisial R dengan F. Berita putusnya cinta antara R dan F tersebar luas. Pertanyaan demi pertanyaan tak percaya berulang kali menghampiriku. Seolah kedua pemeran cinta itu menjadi artis dadakan yang baru dikenal publik.
Padahal, kisah mereka tak disebarkan lewat sms, media cetak, radio, maupun televisi. Dalam menjalani hubungan-pun keduanya tidak terlalu ‘buka-buka-an’. Hubungan mereka cenderung tertutup. Tapi, begitu berita putusnya kedua pasangan tercium publik, tiba-tiba saja sederet pertanyaan melayang. “Masak sich mereka udah putusan? Khan mereka, sepertinya, baru menjalani dua mingguan?”, seperti itu sebagian pertanyaan yang kudengar dari salah seorang teman.
Sebenarnya, aku sendiri tidak hanya sekali dua kali mendapat berita putus cinta dari seorang teman. Ada yang sejak smester I menjalani hubungan, tapi, begitu memasuki smester II kisahnya tidak ditemukan lagi. Ada yang bermain api cinta mulai smester I dan II, namun, di awal-awal smester III hubungannya mulai retak. Tapi hebatnya, tak sedikit yang masih kuat dan kokoh menjalani hubungan sampai pergantian smester, bahkan dengan sadar, salah seorang teman, berani menyatakan bahwa dia akan menjalani hubungannya itu sampai jenjang pernikahan. (WOW!!! Mantab!!!)
Ah… seperti itulah dunia cinta. Aku sendiri masih bimbang untuk bercinta yang kesekian kalinya. Toh, sebenarnya perasaan cinta tentu kumiliki, tapi, aku ingin memiliki cinta yang suci. Masaku kali ini, bukanlah untuk sekedar menikmati cinta semu. Aku ingin merasakan cinta yang benar-benar cinta yang tak cacat. Jika ada yang bertanya, seperti apa sich cinta yang suci itu? Bagaimana sich cinta yang tak cacat itu? Maka, akan kupaparkan cinta menurut versiku.
Cinta suci, suci disini kupandang dari pemahaman agama bahwa sejatinya cinta manusia antara lawan jenis adalah ketika dia sudah mengikat percintaannya itu dengan tali pernikahan. Yaitu cinta yang membuahkan pahala, bukan dosa. Cinta yang tiap tatapan mata, senyum gembira, duka bersama sampai pada tatanan sosial dapat dijadikan suri tauladan.
Sedangkan cinta yang tak cacat adalah cinta yang memahami dan menyadari bahwa tak ada manusia yang sempurna. Ketika kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, maka kita juga harus menerima resiko apapun yang ada pada seseorang yang kita cintai. Ketika kita melihat orang lain yang tampaknya lebih menarik dan lebih sempurna dari pada seseorang yang kita cintai, namun kita tetap bertahan dengan cinta kita miliki, saat itulah kita sedang berada di titik pasti bahwa kita memiliki cinta yang tak cacat.
Mengakhiri catatan ini, penulis ingin menyatakan bahwa cinta itu indah meskipun penderitaan yang harus dirasakan. Semoga catatan ini menjadi sebuah renungan. Bagi yang putus cinta atau sedang sakit hati ataupun patah hati, ketahuilah bahwa itulah sejatinya cinta. Sedangkan yang sedang merasakan percikan kebahagiaan cinta yang tak suci, maka janganlah berlebihan untuk melampiaskan cinta semu itu. Untuk seseorang yang menemukan cinta suci, berbahagialah dan memohonlah kepada Dzat yang telah memberikan cinta agar cinta suci itu menjadi jalan menuju ridho-Nya dan menjadi cinta yang abadi. Wallahul Musta’an [roy]

M. Roihan Rikza, selesai diketik pada hari Selasa, 9 Agustus 2011. Pukul 11.19 WIB. “Untuk semua yang bercinta”


Kamis, 21 Juli 2011

Putus Cinta

Hari Sabtu 16 Juli 2011, sehari setelah aku sampai di Indonesia dari perjalanan umrohku ke tanah suci, aku mendapat sms dari salah seorang teman yang menyatakan bahwa dia sedang putus cinta dengan pujaan hatinya. Kebetulan sang kekasih yag dipuji-pujinya itu juga teman akrabku. Sms itu datang kepadaku saat aku berada di hotel Maris dekat dengan bandara Soekarno-Hatta. Cukup terkejut saat kubaca sms darinya itu.
Tak selang beberapa lama, aku langsung basa-basi untuk meng-smsi si cewek kekasih hatinya tersebut. Begitu pula dengan si cewek yang juga menyatakan bahwa dia putusan dengan cowoknya. Aku mengelabuinya dengan berpura-pura bahwa aku tidak tahu menahu bahwa hubungannya sudah seperti ban mobil yang meledak. Kucoba untuk menjadi penengah diantara keduanya. Aku harus bisa menetralkan keadaan mereka berdua. Sang cowok yang dikenal pintar, cerdas, berkarakter dan juga merupakan keturunan darah biru dari keluarga pesantren, cukup akrab denganku. Aku sering tukar pikiran dengannya. Dia salah satu mahasiswa yang kukagumi dimasaku.
Sedangkan si cewek kekasihnya itu adalah teman yang sejurusan denganku. Dia juga akrab denganku. Tak jarang pula dia mengobrol denganku. Keduanya sama-sama mencurahkan isi hatinya kepadaku lewat sms. Sesekali aku dihubungi lewat obrolan-obrolan handphone. Aku sepertinya menjadi Mak Comblang. Ah, rasanya lebih baik menjadi wasit tinju atau sepak bola dari pada wasit cinta seperti yang kualami saat ini. Betapa sulitnya menetralkan keadaan yang harus dijalani wasit cinta kali ini.
Kasus retaknya cinta yang dialami mereka berdua adalah karna pihak cowok yang terlalu mengekang si cewek. Mungkin karna sang cowok terlalu berlebihan dalam mengekspresikan cintanya, hingga menjadikannya seorang yang super cemburu. Sedangkan si cewek ingin kebebasan. Ia tak ingin terlalu dikekang meskipun dia juga mencintai sang cowok. Perbedaan prinsip inilah yang kemudian menyeret pada putusnya cinta mereka berdua. Padahal aku sudah berharap dan mendo’akan pula agar cinta mereka bisa langgeng serta menjadi cinta yang suci sampai pada fase pelaminan. Eh, baru perjalanan sekitar 4 bulanan, cinta mereka sudah diraba oleh retakan-retakan yang berbuah putus cinta.
***
Sebenarnya aku tidak sekali dua kali dijadikan tempat konsultasi oleh teman-teman kampus dalam problematika cinta. Baik itu kalangan mahasiswa maupun mahasiswi yang sudah cukup akrab denganku. Aku tak ubahnya seperti dokter cinta yang dianggap mampu memberikan ramuan obat-obat cinta yang super mujarab. Mungkin aku dikira sudah memiliki banyak pengalaman cinta. Kemungkinan yang lain adalah karna umurku lebih tua dari teman-teman seangkatanku. Mungkin saja aku telah dianggap lebih dewasa dan mampu memberikan masukan-masukan dalam mengatasi masalah cinta. Maka dari kemungkinan-kemungkinan itulah kemudian aku dijadikan tempat konsultasi yang sebenarnya aku sendiri juga butuh tempat konsultasi untuk masalah seperti ini.
Bagaimanapun juga, aku adalah manusia yang juga merasakan cinta, pernah menderita karna cinta dan selalu berusaha untuk meraih cinta. Apa yang dikeluhkan teman-temanku saat mencurahkan perasaannya kepadaku juga sama seperti apa yang kukeluhkan. Sakit hati yang dirasakan temanku juga sama seperti sakit hati yang pernah kurasakan. Semangat meraih cinta yang menggebu dalam hati yang kemudian diungkapkan dengan rangkaian kata-kata juga sama dengan semangatku yang tak pernah luntur. Hampir semua yang merasakan jatuh cinta itu sama-sama memiliki persamaan pengalaman bercinta. Itulah hebatnya cinta yang terus berputar dengan perputaran zaman. Takkan pernah bosan untuk dibahas. Takkan pernah luntur untuk digilas. “Cinta, deritanya tiada akhir…”, begitulah Pat Kai dalam film kera sakti mengungkapkan kepahitan cintanya.
***
Putus cinta bukan berarti putus harapan. Namun, kenyataan yang ada dan yang memenuhi jagat raya ini adalah bahwa putus cinta berarti putus dari semua yang ada. Tak sedikit dari kasus putus cinta, seseorang nekat bunuh diri dengan berbagai macam cara. Ini adalah kesalahan fatal yang tak seharusnya dilakukan anak cucu Adam.
Bunuh diri, putus asa, dan berkeluh kesah, sebenarnya hanya berlaku bagi pemilik cinta yang tak mengetahui hakikat cinta itu sendiri. Pernah salah seorang teman mengirimiku sms seperti ini: Hal yang paling menyedihkan dalam hidup adalah ketika kamu bertemu dengan seseorang yang sangat berarti bagimu dan mendapati pada akhirnya bahwa tidak demikian adanya dan kamu harus melepaskannya. Mungkin Tuhan menginginkan kita bertemu dengan beberapa orang yang salah sebelum bertemu dengan orang yang tepat.
Dari pernyataan sms di atas dapat dupahami bahwa cinta itu harus berjuang. Ketika seseorang yang amat dicintai itu menghilang dan lenyap untuk tak hadir dalam kehidupan kita, bukan berarti kehidupan kita berhenti sampai disitu. Kita harus berjuang lagi untuk mendapatkan cinta sejati. Kita harus bangkit dari keterpurukan yang membelenggu.
Tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang sempurna, pun demikian dengan cinta yang tak selamanya indah, bahagia, dan mempesona. Semua hal memiliki kekurangan dan kelebihan. Jika indah dalam bercinta itu adalah kesempurnaan dan putus cinta itu adalah kekurangan, maka putus cinta itulah yang akan mengantarkan pada kesempurnaan. Sebab, tak ada jalan yang tak berlubang. Tak ada kesuksesan tanpa cobaan, ujian, dan penderitaan. Semuanya saling melengkapi. Hanya manusia saja yang tinggal menanggapi. [roy]

Tobong Kapur, Trimulyo, Lampung Selatan 19 Juli 2011. Pukul 07:33 WIB.
Untuk teman yang berjuang meraih ridho-Nya.

Rabu, 01 Juni 2011

Andai Aku SBY

Ada yang menarik untuk menjadi perhatian publik hari ini. Mungkin juga beberapa hari terakhir. Namun, yang baru kuketahui keunikannya adalah kemarin sore saat aku menonton acara televisi di TV ONE. Sekitar pukul 17.10, TV ONE menayangkan klip-klip Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat marah, jengkel dan kecewa bahkan menantang, dalam beberapa pertemuan pejabat yang ditayangkan secara vulgar. Entah apa tujuannya. Yang jelas, TV ONE itu punya Abu Rizal Bakrie. Entah disengaja untuk mencoreng nama baik SBY atau hanya iseng-isengan bahan tontonan, aku tak paham. Paling tidak, aku mengerti bagaimana kondisi Presidenku. Bahwa Presiden juga manusia.
Berdosa, salah, malu kepada rakyat”, kata SBY menegur pejabat yang tidur di ruang diskusi. Tidak hanya itu saja. SBY mungkin sudah muak dengan kondisi Bangsanya yang seolah tak ada perubahan. Lebih-lebih melihat pejabat pemerintah yang sepertinya tak memiliki keseriusan dalam mengentaskan Bangsa dari kemisikinan yang kian membengkak, korupsi yang semakin mengakar, pendidikan yang carut marut, ekonomi yang tidak stabil, dan banyak hal lain yang menjadi ‘garapan’ pemerintah, namun belum ada kepastian kapan semua problematika bangsa ini akan tuntas.
Setelah kupikir-pikir, menjadi Presiden Indonesia itu amat susah dan sulit untuk mengatur Bangsanya. Lebih sulit lagi jika bawahan dalam pemerintahannya sama sekali tidak memperhatikan nasib dan memperjuangkan masa depan arah Bangsa Indonesia. Apa karna semua ini adalah watak dan wajah pemerintahan Indonesia yang bisa dimaklumi? Tentu tidak. Pemerintah selaku perwakilan dari rakyat seharusnya memberikan jalan mulus untuk kesejahteraan rakyatnya. Namun, sampai saat ini, pemerintah masih memikirkan nasib dirinya sendiri, untuk perutnya sendiri dan lebih mengutamakan kesejahteraan keluarganya masing-masing dari pada membahagiakan orang-orang miskin yang makan tidur di bawah kolong jembatan. Ini adalah kenyataan.
Kejengkelan SBY kali ini tidak hanya karna ulah pejabat-pejabat bawahannya, tapi juga ulah seseorang yang meneror SBY lewat sms ‘fitnah’ dari Singapura. Sms tersebut, sebagaimana yang diberitakan KOMPAS yang kubaca hari ini (Selasa, 31 Mei 2011) dituduhkan kiriman dari Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Demokrat yang saat ini berada di Singapura. Namun, Nazaruddin membantah banhwa ia tidak mengirimkan sms yang mencantumkan ancaman akan dibukanya berbagai kasus terkait politisi Partai Demokrat, termasuk kasus Bank Century. (KOMPAS, Selasa 31 Mei 2011)
Ugh… Presiden Presiden. Betapa beratnya menjadi pemimpin negeri ini. Andai aku SBY, mungkin aku sudah gila karna memikirkan ini itu yang tak kunjung reda. Mati satu tumbuh seribu, seperti itulah gambaran fenomena negeri ini. Tidak hanya berkutat pada gejala alam yang berulang kali menimpa bumi pertiwi ini, tapi pergantian kasus-kasus bobrok yang dilakukan pejabat –mulai dari korupsi, pertengkaran dalam ruang pertemuan antar pejabat, baik kelas teri sampai kelas hiu, sampai pada kasus tidurnya pejabat saat bekerja untuk rakyat—mewarnai negeri yang dulunya pernha memiliki julukan zamrud khatulistiwa ini.
Tapi memang itulah resiko dan tantangan Presiden yang tak bisa dihindari, ditolak dan ditawar semena-mena oleh seseorang yang sudah dipercayai dan diamanati rakyatnya untuk memimpin bangsa ini. Sebenarnya, fitnah, ancaman, teror, sakit hati, lelah, lesu, capai, jengkel, kecewa, bahagia, sampai curhat Presiden dihadapan rakyatnya, itu juga pernah dialami lima Presiden sebelum SBY. Bisa juga semua itu dialami oleh Presiden-presiden di luar Nusantara. Hanya saja, cara mengatasinya yang berbeda-beda.
Untuk itulah patut kiranya jika penulis menampilkan pernyataan dari Bung Karno yang tertulis dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi bahwa dalam menanggapi masalah itu, “Kita harus bicara dan bekerja”. Wallahul Musta’an. [roy]
Selesai diketik pada hari Selasa malam Rabu 31 Mei 2011. Pukul 21.53 WIB—sambil menonton Pesantern Rock ‘N Roll.

Antara Otak dan Hati

Hati, apa yang kau rasakan saat ini, aku juga merasakannnya. Masihkah kau akan menutup-nutupi semua kisah-kisahmu itu?”, tegur Otak yang mulai gelisah melihat kelakuan Hati yang semakin tak jelas.
Tidak kok. Biasa aja tuch. Kamunya aja yang selalu mencurigaiku. Iya khan?”, Hati mencoba mengelak.
Masihkah aku akan bertanya pada saudara-saudara kita tentang dirimu? Apa perlu kuwawancarai satu persatu mulai dari saudara seperjuangan kita Ujung Rambut sampai Ujung Kaki agar tau jawaban yang sebenarnya? Ayolah, curahkan saja masalahmu itu kepadaku. Bukankah aku saudaramu yang akan membantumu jika kamu terjebak dalam kesulitan?”
Oke oke….”
Belum selesai menjelaskan, Otak langsung meledeki Hati.
Kamu sedang kasmaran pada seseorang khan…. Hayo ngaku… Iya khan?”
Iya”, jawab Hati dengan malu.
Tak usah kau malu-malu padaku. Aku ini saudaramu. Jangan kau tutup-tutupi penderitaanmu itu. Jika kau sakit, aku juga merasakan sakitmu. Buat apa kau simpan penderitaanmu itu. Aku akan selalu memotivasimu kok wahai saudaraku”
Aku gagal dalam bercinta. Dari dulu aku mencoba untuk bercinta dengan baik. Ketika aku mencintai seseorang, aku yakin bahwa cintaku adalah cinta yang tulus. Aku ingin menjaga cintaku itu sampai pada cinta yang suci. Tapi semua itu hanya fatamorgana saja. Semua cintaku seakan hanyalah kesia-siaan belaka. Tak ada yang benar. Aku pun merasa tak pantas dicintai dan mencintai. Apalagi yang terakhir kali ini. Sepertinya, Aku lebih baik mati saja dari pada hidupku selalu diabaikan oleh cinta. Cinta yang kuanggap penutup dari cinta-cinta sebelumnya ini memang sangat spesial. Pengorbananku sangat banyak dalam memperjuangkannya. Tapi, cinta itu tak bertahan sampai lama. Sebab, aku terlukai. Aku tak tahan dengan semua ini. Mati sajalah aku”
Ah… kau ini. Gitu saja sudah berputus asa. Mana kejantananmu. Baru seperti itu saja kau mengeluh. Hidupmu itu masih panjang. Umur kita dalam keluarga ini masih muda kok. Mengapa begitu pendeknya kau memahami perasaanmu? Apalagi kita hidup dalam keluarga yang bergaris laki-laki. Sebagai Otak, aku tak setuju dengan perasan-peraanmu yang kerdil itu. Apalagi sampai mau mati segala, apa lah itu! Tak menunjukkan sifat ke-gentel-anmu”
Bukan gitu maksudku….”
Lalu apalagi? Sudahlah… aku paham. Aku tau kok. Aku mengerti dengan apa yang kau rasakan saat ini. Tapi cobalah kau renungi kembali sejarah cintamu itu. Ayo bangkit! Janganlah kau terus menerus terlena dengan hal-hal yang tak jelas itu. Pandanglah masa depanmu dengan penuh keyakinan bahwa kelak kau akan menjadi mesin tuan laki-laki yang menjadikannya orang besar. Kau juga paham dengan apa yang diimpikan oleh tuan laki-laki khan?”
Iya, aku mengerti bahwa tuan laki-laki itu tak mudah menyerah. Tuan laki-laki sering menghampiriku dengan membawa lembaran-lembaran masalah cinta kepadaku. Tapi tak jarang pula tuan laki-laki datang untuk menanyakan cita-citanya yang agung. Tuan laki-laki ingin sekali menjadi orang yang besar. Surat-surat tuan juga masih kusimpan dengan baik tentang tulisannya yang seakan mendewakan pengalaman pahitnya dalam berjuang melawan musuhnya yang bernama nafsu. Aku terharu membaca tulisan tuan saat berperang melawan nafsu yang sulit sekali dikalahkan. Aku kagum kepada tuan”
Kau ini sudah paham, tapi kok masih plin-plan gitu sich… Wahai saudaraku, selama aku masih hidup dalam kesederhanaan seperti yang kau lihat saat ini, aku tetap akan memantaumu. Aku takkan pernah lelah untuk mengingatkanmu. Aku adalah saudaramu. Ingat itu”
Baiklah Otak. Terima kasih atas saran-saranmu. Aku akan bangkit kembali untuk membantu tuan agar tetap menjaga semangatnya yang tak pernah berhenti membakar Jiwa. Ingatkan aku ya kalau aku tersesat di persimpang jalan”
Oke”

Selesai diketik pada hari Rabo, 25 Mei 2011. Pukul 23.00.
Saat mulai terkelikili mata ini di kedinginan yang membara, aku hanya mampu berujar: “Menulislah apa yang ingin kau tulis. Jangan kau tulis apa yang tidak ingin kau tulis!”

Perintah Olahraga

Sore hari, seperti biasa, sepulang dari Program Khusus Pengembangan Bahasa Arab (PKPBA), aku tak langsung pulang ke kamar. Aku mampir dulu ke masjid Tarbiyah untuk melaksanakan shalat Ashar berjama’ah. Ketika aku sedang memingkis celanaku di pinggiran kolam, tiba-tiba temanku muncul dari tempat wudhu’. Dia menghampiriku sambil mengusap-usap wajahnya yang masih basah oleh air wudhu’nya.
“I love her, her, her… Her artinya kuda khan? Hehehe”, sapa dan godaku pada Fatih, temanku di kelas PKPBA. Agak konyol, memang, tiba-tiba saja aku mengatakan hal itu padanya. Tapi Fatih mengerti dengan maksud ucapanku itu. Kontan saja dia tertawa kecil.
“Ah… kamu ini ada-ada saja”, katanya sambil membenahi lengan baju yang dipingkisnya.
“Tapi mantap khan?”
“Ya iya lah. Bidadari mana yang gak diidam-idamkan cowok?”
“Apalagi kamu. Kamu tergila-gila khan ama dia?”
Yah… begitulah perbincangan dengan teman cowokku di kampus hijau ini. Tiap kali ada halaqoh yang didominasi oleh kaum Adam, pasti takkan lepas dari pembicaraan sosok wanita idaman. Masing-masing berhak mengungkapkan isi hatinya tanpa ada sekat apapun yang menghalangi pembicaraan. Hal itu sudah dianggap wajar. Tak luput pula sore itu, ketika aku bertemu dengan Fatih di masjid Tarbiyah. Jika aku bersama Fatih, pasti yang akan dibahas dalam perbincangan adalah sosok Adawiyah.
Adawiyah, adalah perempuan yang cantiknya bikin cowok manapun akan terkesima saat melihatnya. Aku pun tak dapat memungkiri hal itu. Hanya saja, aku lebih memilih diam. Kadang hanya ikut-ikutan saja. Lain halnya dengan Fatih, mungkin dia memang tergila-gila atau disetting kayak orang gila demi menutup-nutupi kecerdasannya. Meskipun dianggap seperti orang gila, Fatih memiliki kelebihan dibandingkan diriku ini. Dia hâfidul Qur’an. Entah berapa juz yang dihafalnya. Gosib-gosib yang berkembang sich dia hafal 30 juz. Tapi yang jelas, dia lebih baik dari pada aku. Aku, surat-surat dalam juz Amma-pun hanya beberapa saja yang kuhafalkan. Itupun terkadang tak lancar.
Pertemuan di sore itu, bagiku, merupakan pertemuan yang agak berbeda dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Sambil merapikan bajunya, Fatih menjelaskan padaku tentang keterangan ceramah yang tadi siang dia dengarkan dari Pak Imam Suprayogo, rektor UIN Malang, saat mengisi kultum (kuliah tujuh menit) di mimbar masjid Tarbiyah. Fatih menjelaskan dari apa yang dia dengar bahwa perintah olahraga yang dianjurkan oleh Rasulullah ada tiga macam. Dari ketiganya itu tidak hanya berdampak positif pada jasmani saja, tapi rohani-pun dapat merasakan efeknya dengan cara perenungan sebagaimana yang disampaikan oleh Pak Imam. Ketiga perintah olahraga yang dianjurkan Nabi Muhammad adalah: berenang, berpacu kuda dan memanah. Sekilas dari pemahaman yang disampaikan oleh Fatih yang didapat dari Pak Imam kucuba paparkan dengan bahasa tulisanku.
Pertama, adalah perintah untuk mengajarkan kepada anak agar bisa berenang. Kalo direnungkan sich… berenang adalah upaya agar seseorang tidak tenggelam dalam air. Seseorang yang berenang diharuskan untuk melakukan gerakan-gerakan agar tak tenggelam. Berenang berupaya keras agar tubuh selalu berada dipermukaan air dan mengharuskan kepada sang hidung agar tetap bisa bernafas. Dengan demikian, jika diperumpamakan pada kehidupan manusia, maka seseorang harus hidup dengan bekerja. Tidak diam. Jika diam, sama halnya dengan mayat.
Sangatlah tepat apa yang sering disampaikan oleh Ustadz Jaiz Kumkelo dengan mengutip pernyataan Ibnu Sina bahwa “Alhayâtu Harakatun” yang berarti: “kehidupan itu (harus.pen) dinamis”. Seringkali, bahkan bisa jadi setiap kali aku mendapat ceramah dan motivasi dari Ustadz Jaiz, beliau pasti akan mengutip ungkapan “Alhayâtu Harakatun”-nya Ibnu Sina itu. Memang seharusnya seperti itulah manusia yang tak boleh berdiam diri. Harus melakukan hal-hal yang negatif agar menjadi insan kamil; manusia yang sempurna, toh pada kenyataannya tak ada manusia sempurna kecuali manusia pilihan Allah swt. ; Almusthafa; Nabi Muhammad saw.
Kedua, perintah untuk mengajari seorang anak agar bisa belajar berpacu kuda. Perintah itu tidak hanya sebagai anjuran agar berbalapan dengan menunggangi kuda yang saat ini telah diselewengkan sebagai pabrik perjudian. Akhirnya, yang mulanya diorientasikan sebagai sarana berolahraga, kini berganti sebagai ladang uang yang tidak halal. Padahal, jika direnungkan, sebagaimana temanku menyampaikan kepadaku yang didengarnya dari Pak Imam, arti pacuan kuda tidak hanya ditujukan pada balapannya saja tapi juga dapat dilihat dari karakter kuda itu sendiri.
Kuda adalah hewan tercepat yang memiliki perbedaan jauh dari pada bebek. Fatih mencontohkan, sebagaimana yang ia dengar dari penuturan Pak Imam, bahwa bebek itu memiliki ketaatan yang tinggi kepada tuannya. Bebek juga sangat mudah diperintah oleh si pemiliknya. Cukup dengan bambu panjang yang kira-kira panjangnya tiga meter, berbentuk seperti alat gagang pancing, agak melengkung yang ujungnya diberi kresek, bebek akan mengikuti kata sandi dari gerakan kresek itu. Saat bebek-bebek mandi di sungai, si pemilik tidak perlu menjaga di pinggir sungai agar tidak kabur. Sang pemilik juga tidak usah repot-repot menunggu sampai bebek itu wangi. Tancapkan saja gagang bambu itu di tanah di pinggiran sungai, bebek tidak akan pergi kemana-mana selain menikmati segarnya air sungai. Walaupun seharian ditinggal pulang untuk tidur oleh sang tuan, bebek tetap tidak akan pergi kemana-mana. Itulah bebek. Tak repot untuk mengurusnya.
Lain halnya dengan kuda jika disuruh mandi. Padahal, ritual mandi sejatinya adalah agar tubuh menjadi sehat, tidak kotor, bebas penyakit dan menjadikan tubuh lebih bersih. Tapi, untuk hewan yang sering digambarkan sebagai contoh pria yang kuat ini, sangat sulit sekali untuk diperintah menceburkan ke sungai. Jika si pemiliki kuda ingin memandikan kudanya, maka si pemilik kuda harus terlebih dahulu menceburkan diri ke sungai, baru kuda ditarik dari arah sungai. Lain halnya dengan kisah bebek di atas. Si pemilik cukup memerintah dengan ‘tongkat ajaibnnya’, maka bebek akan langsung menceburkan dirinya ke dalam sungai.
Dari perbedaan antara kuda dan bebek, tentu dapat ditarik kesimpulan bahwa kuda itu hewan yang sulit diatur. Sedangkan bebek adalah hewan yang taat kepada segala perintah yang dikehendaki oleh tuannya. Dari perbedaan kedua hewan tersebut, jika digambarkan kepada manusia, tentu kuda-lah yang cenderung menjadi sifat manusia. Tidak mudah diatur. Jika diatur, manusia terkadang masih menunggu contoh terlebih dahulu pada yang memerintah. Ya, sebagaimana contoh kuda tadi. Ketika akan dimandikan, maka tuan pemilik kuda harus menceburkan diri terlebih dahulu sebagai perumpamaan teladan atau contoh. Baru kuda akan mengikuti apa yang dikehendaki tuan. Begitu pula dengan manusia.
Perenungan ini, jika digambarkan kepada aktifitas akademis. Dengan demikian, maka dosen harus mencotohkan terlebih dahulu sebelum memerintah terhadap mahasiswanya. Jika dosen menginginkan mahasiswanya agar mampu menjadi penulis produktif, maka dosen tersebut tidak boleh tidak harus memiliki banyak karya tulis sebagai percontohan dan teladan yang dapat dijadikan motivasi bagi mahasiswanya.
Seperti itulah kira-kira perenungan yang dapat ditarik benang merahnya dari perintah berpacu kuda. Perintah itu bukan hanya sekedar untuk mengolahragakan badan saja, tapi juga ada kaitannya dengan kondisi batin yang juga harus di-olahraga-kan.
Ketiga, adalah perintah memanah. Memanah, jika aku boleh memaknainya, adalah perbuatan atau tindakan untuk memfokuskan anak panah yang akan diluncurkan dari busur pada satu titik tertentu. Aku tak tau siapa orang yang pertama kali membuat panah. Bangsa mana? Suku apa? Berasal dari kata apa? Aku tak tau semua itu. Yang kuketahui tentang panah hanyalah sebagai alat perang sebelum munculnya tembak dan alat pemburu hewan di hutan di zaman klasik. Untuk saat ini, sepertinya, panah hanya digunakan oleh orang-orang tradisional yang tinggal dipedalaman, toh tak dapat dipungkiri bahwa bedil, pistol, granat atau alat tembak lainnya juga telah memasuki kawasan pedalaman tersebut.
Tapi hal ini tidak menafikan bahwa di kota tidak ada panah. Panah, di kota menjadi semacam alat olahraga layaknya alat-alat berat lainnya. Saat aku masih duduk di bangku Tsanawiyah atau yang disetarakan dengan tingkat SMP, aku pernah mengikuti saudaraku yang ikut dalam pelatihan memanah. Waktu itu aku sedang berada di Lampung. Aku juga sempat mencoba alat yang mirip tongkat penggembala itu. Meskipun hanya pertama –dan mungkin juga yang terakhir—kalinya aku memegang busur dan anak panah, aku menganggap memanah adalah hal yang rumit. Tidak segampang obralan kata-kata yang ‘sok bisa’. Sebab, memanah harus benar-benar berkonsentrasi agar dapat mengarahkan anak panahnya pada titik sasaran.
Itu baru latihan memanah. Belum lagi jika dipraktekan ke dunia nyata. Misalnya saat memburu di hutan. Jika anak panah tidak menganai sasaran, tentu anak panah akan kehilangan arah, tak terkendali dan pada akhirnya akan hilang. Yang lebih berbahaya lagi jika ternyata dianggap sebagai ‘pluru nyasar’. Maka akan ada korban nyawa yang direnggut. Inilah sulitnya memanah.
Dari penggambaraan seperti ini, perenungan dari Pak Imam yang disampaikan oleh Fatih, bahwa memanah itu dapat digambarkan pada jurusan masing-masing mahasiswa atau dosen yang mumpuni bidang tertentu. Harus fokus pada satu bidang tertentu agar titik temu kesuksesan dapat diraih. Maka, bagi dosen atau mahasiswa yang berada di saintek, misalnya, harus berusaha keras agar apa yang menjadi tujuan dan impian fakultas pilihannya terjamin kesuksesannnya.
Dengan demikian, mahasiswa sebagai calon intelektual di masa mendatang diharapkan mampu memumpuni apa yang menjadi target belajar di fakultas masing-masing. Aku tak tahu apa jadinya jika di tahun 2020 kelak di Indonesia akan muncul ribuan pemikir bangsa dari latar belakang keilmuan masing-masing mahasiswa yang saat ini berproses menuntut ilmu di bidang yang dimumpuninya. Mungkin impian Indonesia akan benar-benar tercapai. Harapan tinggal harapan. Yang dipertanyakan saat ini hanyalah siapa yang mau dan mampu untuk kejayaan negerinya? Semoga impian dengan kaitannya perenungan Pak Imam –dengan keterbatasan bahasa dan susunan yang kumiliki sehingga tercipta tulisan ini—benar-benar impian di alam sadar dan akan nyata di alam nyata. Amin…
Untuk mengakhiri tulisan ini, penulis hanya ingin menutup dengan ungkapan arab bahwa “Syubbanul yaum rijalul ghod” (pemuda saat ini adalah pemimpin di masa mendatang). Wallahu A’lam.

Tulisan ini pertama kali diketik pada dari Selasa 24 Februari 2011 pukul 17.22 WIB. Tulisan ini terhenti hingga baru bisa diselesaikan pada hari Selasa 12 April 2011 pada jam 13.21 WIB.