Jumat, 25 Februari 2011

Belajar Desain dari Nol

Hasil Desainanku
Malam Jum’at tanggal 17 Februari aku mengikuti acara teknikal meting –Entah  bagaimana penulisan dalam bahasa Inggrisnya. Aku hanya mengetahui cara bacanya aja. Itupun cara baca versi bahasa Indonesia yang tekadang berblesteran dengan dialek bahasa Jawa—di  gedung halaqah ma’had untuk memperkenalkan acara yang  katanya acara perdana, bergengsi dan paling murah yang pernah ada di ma’had Sunan Ampel Al-ALy (MSAA). Acara itu diikuti sekitar delapan puluhan peserta dari berbagai jurusan.
            Kuakui, memang, acara yang dimulai dari pengenalan dasar-dasar desain itu sangat murah dibandingkan belajar desain yang ada di luar kampus. Toh sebenarnya aku tak melakukan penelitian dan membanding-bandingkan tarif yang pernah ada, tapi Mas Muchad, selaku pemateri yang saat itu memberi sambutan acara, menyatakan bahwa ‘Belajar Desain dari Nol’ yang diselenggarakan oleh panitia dari mabna Ibnu Rusydi kali ini sangat murah. Jika dibandingkan dengan ‘Belajar Desain’ di luar kampus yang pernah diikuti oleh Mas Muchad, perbandingannya bisa mencapai sepuluh kali lipat dari biaya yang dikenakan pada tiap peserta belajar desain kali ini. Dengan demikian, jika di acara ini para peserta dikenai uang pendaftaran sebesar 25.000 yang mendapatkan sertifikat, modul, kaset CD tutorial plus makanan ringan, maka di luar kampus akan mempromosikan acara seperti ini dengan tarif pendaftaran sebesar 250.000 rupiah.
            Selain itu, acara yang mengharuskan pesertanya untuk membawa laptop, menjadi lebih spektakuler saat Ust. Jaiz Kumkelo, pengasuh mabna Ibnu Rusydi, mengisi sambutan di malam yang cerah itu dengan motivasi dan tawaran bea siswa bagi tiga peserta terbaik dalam sesi perlombaan desain wall paper setelah dasar-dasar desain dikuasai oleh para pesertanya.
            Untuk pelaksanaan belajar desain ini, panitia membagi dua kloter. Kloter pertama dimulai pada hari Jum’at yang di mulai dari jam 8 pagi sampai jam 11 siang. Kemudian dilanjutkan pada hari Sabtu yang dimulai dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore dengan dua waktu istirahat yang hanya cukup digunakan untuk melaksanakan shalat maktubah dan makan. Saat acara berlangsung, para peserta sangat antusias tanpa ada rasa bosan.
            Dalam pembagian dua kloter tersebut, aku memilih untuk menjadi peserta dikloter kedua yang waktunya berbeda dengan kloter pertama. Untuk kloter kedua, peserta baru bisa mengikuti belajar dasar-dasar mendesain pada malam Ahad yang dimulai dari jam 8 malam sampai pukul 10 malam. Kemudian dilanjutkan keesokan harinya; Ahad, dari jam 8 pagi sampai jam 6 sore plus dengan pelaksanaan lombanya. Sedangkan untuk kloter pertama, pelaksaan lombanya dimulai pada hari Sabtu sorenya.
            Penuh kesan, seru, unik, ilmu baru dan  menambah wawasan serta pengalaman dari orang lain, terutama dari pematerinya; Mas Muchad yang suka menyelingi dengan pengalamannya di sela-sela memberi materi desain. Tapi sayang, dalam acara itu, aku tidak bisa menambah kawan atau teman yang lebih banyak lagi. Sebab, dalam acara itu tidak ada pembagian kelompok. Kok seandainya ada pembagian kelompok, kemungkinan besar aku akan dapat kenalan baru dan tentunya bisa menjadi target untuk pelanggan pulsaku. Hehe… Ah… tapi khan tujuanku mengikuti acara itu khan untuk belajar, bukan kenalan!
Tentang Pemateri
            Ada dua pemateri yang saat itu membimbing peserta belajar desain. Yang pertama beranama Miftahul Huda yang akrab dengan panggilan Nanang. Entah dari mana asalnya. Yang kuketahui dari ceritanya, dia pernah menjuarai lomba desain mading memakai corel yang diikutinya di Jawa Tengah. Pemateri yang pertama ini juga salah satu musyrif Ibnu Rusydi. (Musyrif berarti pendamping. Istilah ini mulai kukenal sejak menjadi mahasiswa UIN Malang dan ketika aku tinggal di asrama untuk semester satu dan dua. Keberadaan musyrif ini tak lain adalah untuk mendampingi mahasiswa yang nyantri di asrama Ma’had Sunan Ampel Al-Aly). Ustadz Nanang mengajari dari nol hingga bisa membuat sesuatu yang unik dengan program corel draw. Dia memiliki pengalaman banyak dengan corelnya. Bahkan salah seorang temanku bilang bahwa dia sudah bisa menghasilkan uang sendiri dengan inspirasi yang dibangun lewat desain-desainnya yang bagus.
            Sedangkan pemateri yang kedua bernama Mukhlis Fuadi. Mahasiswa kelahiran tahun 1987. Dua tahun lebih tua dari pada diriku. Panggilan akrabnya Mas Muchad. Nama dan orangnya sudah banyak dikenal oleh mahasiswa UIN Malang. Ya sepengetahuannku sampai saat ini, dia memang benar-benar aktifis yang menjadi inspirator bagi generasi di kampus hijau ini. Pengalaman-pengalamannya bisa dijadikan motivasi bagi siapapun yang ingin bangkit dari tidurnya. Selain menjadi mahasiswa terbaik diangkatannya, kini, Mas Muchad sudah ‘menikah’ dengan UIN setelah ‘dilamar’ agar menetap dan mengabdi pada kampus Islam ini
            Dalam kisahnya, dia telah mengenal corel draw dengan baik sejak di bangku SMA. Tak mengherankan jika sampai saat ini banyak penawaran dari beberapa perusahaan kepada Mas Muchad untuk bekerja sebagai desainer handal. Bahkan, saat ini, selain menjadi penjaga PUSKOM UIN, dia juga masih terikat dengan sebuah perusahaan desain yang kerjanya tidak harus berkantor. Dimanapun Mas Muchad bisa berkreasi untuk bisa membuat desain yang indah, disitulah kantornya. Entah itu di lapangan bola, di kamar ataupun di masjid, selama bisa membuat desain dengan kreasi dan inovasinya, maka saat itulah Mas Muchad sedang menimba uang tanpa harus mondar-mandir dari satu tempat ke tempat lainnya. Keren khan? Andai aku seperti itu sejak saat ini, wah bakal ada banyak yang daftar nih untuk dijadikan pemateri belajar desain seperti Mas Muchad. Hehe…
Laptopku Jadi Juara
            Setelah empat hari panitia menyelenggarakan acara yang menarik itu, pada malam Senin, 20 Februari 2011, panitia menutup acara belajar desain di gedung halaqah lantai satu dengan memberikan jamuan hiburan pantonim dari warga Ibnu Rusydi dan konser kecil-kecilan oleh Mas Muchad dan Murobbi atau kepala mabna Ibnu Rusydi.
            Sebenarnya, panitia penyelenggara telah menyiapkan lokasi acara penutupan di depan gedung Al-Ghazali yang lebih terbuka dari pada di dalam gedung halaqah. Namun, berhubung hujan turun lebat di sore hari itu, maka lokasi acara penutupan itu dipindah ke dalam gedung halaqah. Meskipun demikian, tidak menjadikan peserta belajar desain merasa bosan, jenuh dan tidak pula dikecewakan. Sebab, malam itu, adalah malam yang bersejarah bagi para desainer pemula. Lebih-lebih bagi yang berhasil menjuarai perlombaan desainnya. Sang juarawan akan mendapatkan bea siswa dengan total nilai satu juta dua ratus ribu. Yah lumayanlah untuk biaya makan selama satu semester. Hehe…
            Mulai dari awal acara penutupan yang dimulai sekitar pukul sembilan malam, para desainer muda sepertinya tak sabar untuk menyambut pembacaan sang juarawan lomba. Sebelum pembacaan dimulai, ada acara selingan yang disiapkan oleh panitia  seperti halnya acara-acara resmi yang pernah kuketahui. Ada pembukaan, pembacaan ayat suci Al-Qur’an dan sambutan serta do’a. Untuk acara sambutan, yang paling menarik adalah saat diisi oleh mudirul ma’had atau dapat diterjemahkan: pengasuh pesantren yang –di UIN Maulana Malik Ibrahim— kusebut asrama bukan pondok, apalagi pesantren.
            Pengasuh asrama Sunan Ampel Al-Aly yang kuketahui namanya adalah Ust. Isroqun Najah yang ndalem-nya berada di depan agak ke samping barat dari asrama mewah (mepet sawah) Al-Faroby; asramaku. Sambutan dari pengasuh asrama berjalan sekitar 15 menit dengan beberapa motivasi dan kisah-kisah dari beliau. Usai acara sambutan dan sebelum pembacaan sang juara lomba, masih ada selingan pantonim yang lucu dan unik. Baru setelah pantonim itulah, akhirnya surat keputusan sang juara dibacakan di ruangan halaqah yang bisa menampung sekitar 300 orang.
            Pembacaan juarawan dimulai dari juara ketiga yang diraih oleh perempuan berwajah manis dan cantik dari jurusan Teknologi dan Informatika (TI). Dia bernama Puspa, entah siapa nama pangjangnya. Aku lupa. Tapi aku masih ingat wajah cantiknya (hehe). Puspa berhasil menduduki sebagai juara ketiga dengan desainnya yang cantik. Warna dasar hijau muda dijadikannya sebagai wall peaper yang dilombakan.
Juara kedua diraih oleh mahasiswa asal Kediri. Dia bernama Catur. Entah siapa pula nama panjangnya. Dia juga sefakultas dengan Puspa; TI. Aku mengenal Catur pertama kali di gedung Sport Center (SC) pada bulan Ramadhan tahun 2010 saat pelaksanaan Orientasi Pengenalan Kampus (OPAK) atau, kata teman-temanku yang pernah mengenyam bangku SMA populer dengan sebutan OSPEK. Aku mengenal Catur lebih akrab lagi karna sering berjumpa di masjid Tarbiyah ketika menjalankan shalat maktubah. Dia berhasil beraih juara kedua dengan desain uniknya. Catur menjadikan warna hijau tua sebagai dasar wall peaper-nya yang bergambarkan sosok rektor UIN Maliky; Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, berwarna putih yang sedang duduk merenung di depan bangunan megah SC.
Sedangkan yang menjadi juara satu di perlombaan ‘Belajar Desain dari Nol’ kali adalah sosok yang tak kusangka-sangka. Postur tubuhnya yang lebih kecil sangat khas sekali di mataku. Dia teman yang sangat aku kenali sosoknya. Bahkan aku juga hampir mengetahui bagaimana gerakan langakahnya saat berjalan. Dia bernama lengkap Mahbub Suaibi. Laki-laki asal Sulawesi kelahiran Lemahabang pada tahun 23 Desember 1992 itulah yang berhasil mengalahkan desainer yang lainnya. Dia teman kelasku di Pendidikan Bahasa Arab (PBA) sejak semester satu. Dia juga sering main ke kamarku di asrama. Maklum, dia adalah tetangga kamarku. Aku mengenalnya jauh hari sebelum perkuliahan dimulai. Yaitu saat ujian jalur mandiri pada bulan Juni tahun 2010.
            Mahbub mengikuti ‘Belajar Desain dari Nol’ hanya dengan modal semangat. Dia tak memiliki laptop untuk mengaplikasikan CD yang disediakan oleh panitia. Padahal keharusan peserta mengikuti belajar desain itu adalah harus memiliki laptop. Apa jadinya jika ada peserta belajar desain tapi tak membawa laptop? Sungguh mustahil untuk bisa menguasai. Tapi tidak untuk Mahbub. Sejak pengumuman pembagian dua kelompok pada waktu teknikal meting, aku sudah membayangkan keadaan Mahbub. “Mahbub khan tak punya laptop. Ah, biar punyaku saja yang dioprasikannya”, gumamku dalam, hati. Kusarankan dia supaya mengikuti gelombang pertama dan aku mengikuti putaran gelombang kedua. Mahbub menyepakati. Dan akhirnya dia mengikuti belajar desain itu dengan munggunakan laptopku.
Wall peaper Mahbub yang jadi juara satu
            “Go Green”, itu nama wall peaper milik Mahbub yang disebutkan oleh panitia saat membaca pengumuman juara kesatu dalam lomba itu. Panitia tidak menyebutkan nama pemenang, tapi memanggil nama wall peaper “Go Green”. Betapa terkejutnya Mahbub saat mendengar nama wall peaper-nya dipanggil panitia sebagai pemenang juara kesatu. Rasa tak percaya masih menyelimutinya saat pertama kali nama wall peaper-nya dipanggil. Tapi, sepertinya hanya satu yang bernama “Go Green”. Mahbub maju dalam keadaan yang gugup bercampur bahagia. Teman-teman se-asrama menyorakinya dengan penuh kebanggaan. “Anak PBA mengalahkan anak TI, wesss…. Masyaallah yah…”, salah seorang rekan berucap yang takjub atas kejuaraan yang diraih Mahbub.
            “Laptopku menang!”, kataku menimpali pernyataan-pernyataan lainnya. “Iyo cak. Laptope sampean menang. Hehe…”, kata Mahbub memanaskan suasana yang penuh kegembiraan. Ya, memang, laptopku menang, tapi pemilik laptopnya kalah bersaing; tak menjadi sang juara. Tapi tak apa-lah. Meskipun bukan aku yang menang, tapi laptopku telah menjadi bukti sejarah. Bahwa seseorang yang tak punya laptop-pun bisa menjadi sang juara mengungguli orang-orang yang memiliki laptop. Ukurannya bukan pada ke-pemilik-an laptop, tapi semangat untuk menggunakan laptop sebaik mungkin. Inilah bukti nyata. “Laptopku jadi juara!”, teriakku dalam hati. Tapi kapan yah aku seperti mereka yang jadi sang juara? Wallahu a’lam. [roy]

            Al-Faroby 18. Samping jendela kamar yang sejuk. Jum’at 25 Februari 2011, pukul 06.10 pagi
           

Kamis, 17 Februari 2011

Kasurku Perpusku

Membaca tak harus di perpustakaan
    Jika Nabi Muhammad saw. pernah bersabda yang artinya adalah: “Rumahku adalah surgaku”, maka, aku sebagai salah satu umatnya –dan semoga memang benar-benar diakui sebagai umatnya. Amin…—juga akan membikin pernyataan baru; ‘Kasurku Perpusku’. (Keren khan? Tapi, masak kasur mau dibikin perpustakaan? Emang mau tidur di atas tumpukan buku gitu maksudnya? Ah ngarang! Masak buku mau dijadikan kasur yang kemudian dianggap perpustakaan?
            Aku menganggap kasurku sebagai perpusku karna aku sering, bahkan memang sudah menjadi kebiasaanku meletakkan buku-bukuku di atas kasur. Kasur atau ranjang yang berarti tempat tidur bagiku tak ubahnya perpustakaan. Tapi terkadang, buku yang ada dan berserakan di atas kasurku hanyalah sebagai pengantar tidur. Hehe… Meskipun begitu, lebih baiklah dari pada hanya digunakan untuk mengistirahatkan badan saja, toh sejatinya kasur adalah untuk tidur.
            Kalo ditelusuri secara historis atau kacamata sejarah masa laluku, aku memang sudah lama terbiasa menggelatakkan buku-buku di atas kasur. Baik itu di kasur rumah maupun di asrama. Sebab, selain menjadi tempat yang nyaman dan enak untuk membaca, kasur juga diharapkan bisa menjadi sebuah harapan untuk memimpikan seorang penulis sebuah buku yang hadir lalu memberikan penjelasan dan ilmu-ilmu yang dimilikinya lewat mimpi itu. Yah agak dimirip-miripkanlah dengan kisah orang-orang terdahulu yang pernah mendapat ilmu yang berlimpah ruah hanya karna mimpi belajar kepada seorang guru. (Glodak!! Grusak!! Dor dor dor!! Trat tat tat tat tat… Chiiiiiiiiitt Duor!!  Berkhayal yah Bunk!! Awas jatuh lho kalo berkhayal!! Hehe…)
            Tapi, kalo di rumah, aku akan merubah dari ‘kasur’ menjadi ‘kamar’. Jadinya adalah ‘Kamarku Perpusku’. Di rumahku, kamar tidurku sudah kusetting ruangannya seperti perpus mini. Layaknya ilmuwan yang memiliki ruangan perpustakaan pribadi yang lengkap dengan almari khusus buku yang nempel di tembok.(Halah… iya tah?). Begitu pula dengan ruangan kamar sempitku yang panjang dan lebarnya kira-kira 4x4 meter. Sempit dan lembab, seperti itulah gambarannya. Tapi tetap nyaman untuk merebahkan badan atau nyemil koleksi-koleksi bukuku yang sudah melebihi dari seratus judul buku dan kitab klasik.
            Lain halnya dengan kamar asramaku yang lebar dan panjangnya kayaknya empat kali lipat dari pada kamarku di rumah. Selain beda lebar dan panjangnya, suasananya pun juga jauh lebih berbeda dengan kamarku di rumah. Apalagi kalo diperinci dengan tata letak kasurku yang juga berbeda dengan tata letak kasur teman-teman kamarku. Kasurku lebih nyaman karna dekat dengan jendela kamar yang bisa melihat pemandangan yang indah di luar jendela itu. Jika sore hari,tanpa rintikan air hujan, pemandangan indah dari gunung Arjuna di sebelah utara kota Malang, akan terlihat jelas. Terkadang aku memotretnya dengan kamera HP-ku. Di lain waktu aku berkhayal; “Andai saja aku dapat mendaki gunung itu”.
            Selain pemandangan itu, di daratan bawah terlihat sawah hijau yang subur. Pernah juga melihat bagaimana petani itu sedang menggarap sawah dengan bantuan kerbaunya. Terlihat juga perumahan kos-kosan yang terkadang nampak seorang mahasiswi sedang menjemur bajunya di lantai dua kos-kosannya itu. Semuanya itu terlihat dari jendela kamarku yang berada di lantai dua asramaku yang mewah. (Hem… Kamar yang mewah beneran kah? Mewah merupakan singkatan dari ‘Mepet Sawah’… wkwkwkw….)
            Itu baru permandangan di sore hari. Kalo malam hari, bintang-bintang yang berkedip di langit yang hitam pekat akan tampak lebih indah jika tak bersamaan dengan rintikan hujan. Belum lagi kalo pertengahan bulan Hijriyah, bulan yang bundar dengan sinar terangnya akan menyapa separuh bumi dengan ke-purnamaan-nya yang sangat mengagumkan. Sungguh Maha Sempurna Tuhan Yang telah memciptakannya. (Suit-suit… sok sastrawan deh… hehe)
            Itulah kasurku yang selain menjadi perpusku, mungkin juga akan disebut sebagai ‘taman rekreasi’ yang selalu memiliki udara yang sejuk. Ya, toh sebenernya nilai bacaku akhir-akhir ini menurun, tapi masih mendinglah mau menyapa buku-buku yang telah kubeli itu. Sepertinya aku lebih suka membaca HP dari pada membaca buku yang lebih sering tergeletak di atas kasur bersepreikan warna biru telur bebek yang sampai saat ini tak pernah dicuci sama sekali. (Kasihan yah buku-bukunya. Mungkin, jika buku-buku itu memiliki mulut, dia akan berkata: “Hay anak cucu Adam! Mengapa kau ingin sekali memilikiku saat pertama kali melihatku? Tapi ketika aku telah berada di sampingmu,kau sering tak acuhkan diriku ini!)
“Dah gak dibaca! Seprei kasur gak pernah dicuci! Begitu pula dengan bantalnya yang gak pernah dijemur dan kurung bantalnya yang juga tak pernah dicuci! Ah… dasar jorok!”, sesekali hal itu kujeritkan dalam hati agar prihatin dengan nasib kasurku itu. Tapi meskipun bau dan terlihat kotor, tetap saja kasur itu adalah kasurku selama aku tinggal di asrma UIN. Kata temanku saat lagi ngobrol, biaya untuk asrama ini saja dua jutaan untuk dua smester atau satu tahun. Mahal khan? Sangat disayangkan jika fasilitas semahal itu tak digunakan dengan sebaik-baiknya. Tak mengherankan jika sebagian temanku ada yang menghabiskan biaya listrik dengan main PS, ada yang bawa pemanas air dengan sembunyi-sembunyi. Seandainya boleh membawa rice coker dari rumah atau membelinya di toko, mungkin tiap kamar pasti ada rice coker-nya. Tapi tidak. Peraturan telah menyatakan agar mahasiswa tidak membawa alat penanak nasi itu. Jangankan ­rice coker, bawa setrika saja dirampas oleh pengurus asrama, apalagi sejenis pemanas air. Lebih-lebih rice coker yang terkadang menyedot listrik sampai 250 watt.
Semua itu atas dasar asumsi dengan teori untung rugi dengan kacamata pendek. Atau anggap saja dengan cara pandang negatif. Tapi, kalo memakai kacamata positif yang plus,plus dan plus, maka mahasiswa yang tinggal di asrama itu tidak akan menyia-nyiakan tempat megah dan mewah itu sebagai ladang untuk meraup banyak ilmu. Waktu yang berlalu akan digunakan sebaik mungkin hanya untuk satu tujuan; menuntut ilmu. Itu saja. Nah, tipe dan model yang kedua inilah yang kuharapkan. Tapi sepertinya tipe yang kedua ini hanya kuterapkan di masa-masa awal aku tinggal di asrama ini. Rajin, tekun, mengikuti semua kegiatan di asrama, seolah menjadi kebiasaanku yang tak kalah indah di masa perdana itu. Saat itu, aku hanya bisa berharap agar bisa istiqomah. Namun, kebelakang hari, bahkan sampai saat ini, nilai-nilai kerajinan dan ketekunanku itu mrosot jauh dari pada nilai di awal-awalku. Mungkin kalo dikalkulasikan, aku dapat nilai 40 dari nilai seratus yang pernah kudapatkan di masa adaptasi di asrama yang memiliki lima bangunan megah ini.
Perjalananku saat ini bagai perahu layar di tengah ganasnya ombak besar yang mampu menenggelamkan segala jenis perahu; sedang berjuang untuk bangkit dan bertahan hidup. Seperti halnya orang menjahit yang sedang menyulam benang-benang untuk menjadikan satu potong baju yang bagus. Jika tak sabar, maka tak akan menjadi sepotong baju bagus dengan harga yang mahal. Jika tak bisa bertahan di tengah gelombang ombak yang tinggi, maka akan tenggelam, kemudian akan menghilang dan pada akhirnya tak kembali untuk selamanya.
‘Kasurku Perpusku’, aku hanya bisa berharap agar aku mampu mengembalikan jati diriku yang terlampau jauh dari relnya. Aku ingin menjadikan kasurku itu sebagai istana untuk menyantap ilmu dari buku dan kitab yang kumiliki. Jika Habiburrahman dengan Ayat-ayat Cintanya telah membuat pernyataan bahwa penjara di bawah tanah pun bisa menjadi universitas yang mencetak ilmuwan-ilmuwan besar, maka aku juga akan bikin pernyataan pula bahwa: “Kasurpun juga dapat mencetak ilmuwan” (Ah… ada –ada saja)[roy]

Al-Faroby Kamis, 17 Februari 2011 pukul 09.25 WIB
           
           
           
           

Minggu, 13 Februari 2011

Santri Tempe

Santri Tempe; hidupnya penuh dengan kekonyolan
    Sejak aku nyantri di pesantren, aku mengenal banyak istilah yang bermunculan di kalangan santri. Baik  itu istilah dari bahasa kitab kuning maupun istilah dari bahasa teman yang tak sebahasa, tak se-suku dan tak satu daerah pula. Dari pengenalan istilah dan pengetahuan baru itu, ada banyak hal yang kuketahui tentang istilah-istilah yang populer di kalangan mereka yang lain suku dan yang tidak populer atau bahasa yang biasa dipakai dikalangan mereka.
            Namun, teman-temanku lebih suka mengeluarkan kata-kata kotor yang populer dikalangan mereka masing-masing ketimbang memakai kata-kata yang halus. Toh tidak semuanya, tapi setidaknya, dari segelintir teman juga akan mempengaruhi keidentitasan pribadi daerahnya. Surabaya, misalnya, kata ‘Jancok’ sudah menjadi kebiasaan kalangan mudanya. Jadi, jika ada seorang teman sebaya dipanggil: ‘Cok!’ tidak akan marah. Sebab hal itu sudah wajar dan lumrah bagi mereka. Beda halnya jika kata ‘Jancok’ itu terdengar oleh orang Solo atau daerah senasib dengan Solo, yang daerahnya masih banyak orang yang menggunakan bahasa Jawa halus atau yang diistilahkan dengan ‘boso’, maka orang yang berkata ‘cok’ itu akan diklaim sebagai orang yang urakan, tak punya sopan santun, tak berakhlak dan berbagai macam anggapan yang tak nyaman. Hal itu disebabkan karna kata ‘Jancok’ adalah kata yang sangat kotor bagi komunitas mereka.
            Sebenarnya sich kata ‘Jancok’ itu sudah populer di daerah Jawa, bahkan juga sudah dikenal pula di luar Jawa. Nah, untuk daerah Malang sendiri, kata ‘Jancok’ bagi kalangan remaja,menurutku sih, sudah hampir mengakar. Tapi tak separah kalangan remaja Surabaya yang bukan hanya menjadi akar, tapi telah menjadi batang pohon. Jika di Surabaya sudah dianggap wajar, maka di Malang, masih ada sekat pelabelan anak nakal bagi yang mengucapkannya. Tapi, apakah kemudian remaja Surabaya itu akan dianggap anak nakal seluruhnya? Tentunya tidak, namun berhubung sudah menjadi tradisi di kalangan mereka, maka hal itu, sekali lagi, dianggap wajar-wajar saja.
            Selain ‘Jancok’, di Jawa ada istilah ‘Asu’ yang berarti ‘Anjing’. Ada lagi ‘Celeh’ untuk Jawa tulen. Di pulau garam Madura, kata ‘Patek’ adalah kata-kata kotor yang memiliki arti ‘Anjing’. Sedangkan kata ‘Anjing’ sendiri, sering dipakai oleh remaja Bandung, Jakarta atau daerah-daerah yang di dominasi oleh ‘etnis’ yang dari sejak lahir memang berbahasa Indonesia. Tiap-tiap tempat memiliki istilah sendiri untuk mengungkapkan kata-kata yang kebanyakan akan bermunculan saat amarah tak lagi terbendung. Di Lampung, ada kata-kata ‘Sek’, ‘Kampang’ dan ‘Selot’ untuk istilah yang serumpun dan sebangsa dengan ‘Jancok’, ‘Asu’, ‘Celeh’, dan masih banyak istilah lain yang tak kuketahui.
            (Wah wah… ini tulisan kok ngajari yang gak bener sih? Tulisan kayak gini kok dipublikasikan. Khan juga dapat menurunkan derajat masing-masing daerah yang disebutkan di atas lho. Hati-hati lho, bisa jadi penulis akan menjadi bualan berbagai kalangan karna telah mempublikasikan tulisan ini. Tapi, bagiku ya biasa-biasa aja. Lha wong tujuannya tidak menghina kalangan manapun. Bahkan itu juga sudah menjadi fakta di lapangan kok. Khan aku hanya ingin menuliskan apa yang ingin diungkapkan oleh pikiran saja. Hehe…)
            Dari semua istilah yang tertulis di atas, ada beberapa yang kupelesetkan dan sering kuungkapkan pula, bahkan sampai ditiru oleh teman-temanku. Semisal kata ‘Pacol’. Kata itu sering kupakai memanggil teman-temanku. Baik teman kelas maupun teman kamar. Kalo ditelusuri, kata ‘Pacol’ itu adalah plesetan dari ‘Patek’. Namun, plesetan ‘Pacol’ itu tidak menjadikan orang yang mendengarnya merasa terhina. Bagi temen-temenku sendiri, mungkin akan memaknai istilah itu sebagai alat petani untuk ‘mengatur’ sawah atau ladangnya. Sebab, makna ‘Pacol’ sendiri bagi orang Jawa adalah sama dengan ‘Cangkul’ (bahasa Indonesianya) yang berarti alat untuk menggali dan mengaduk tanah, dibuat dari lempeng besi dan diberi tangkai panjang untuk pegangan (dalam KBBI; Kamus Besar Bahasa Indonesia).
            Mungkin karna seringnya memakai ungkapan-ungkapan yang tak wajar, maka, ketika aku membuat istilah-istilah baru, aku akan menjadi tontonan yang diperhatikan dengan sedikit ada rasa humor. Ungkapan ‘Omplonk’ pernah juga menjadi salah satu plesetan yang sering kugunakan memanggil teman atau juga ngledekin temanku. “Ow… dasar omplonk!!”, ledekku suatu saat kepada seorang teman.
            Ya umumnya sich istilah plesetan itu muncul di daerah asal ungkapan itu berlaku. Seperti ‘Pacol’, tentunya di daerah Madura. Ada lagi ‘Asem’ yang sering dipakai keturunan Jawa. ‘Asem’ merupakan plesetan dari ‘Asu’. ‘Kampret’ juga pernah kugunakan juga sebagai plesetan dari ‘Kampang’. Istilah ‘Kampret’ lebih sering kugunakan saat tinggal di Lampung.
            Tapi, kalo ditelurusi lebih lanjut, tiap-tiap kata pasti memiliki kata plesetan. ‘Anjing’ pun diplesetkan menjadi ‘Anjrit’ agar terlalu kasar untuk mengungkapkan kata ‘Anjing’. Tentunya, orang yang dipanggil dengan ‘Anjing’ akan merasa sangat terhina, sebab orang yang dipanggil dengan kata ‘Anjing’ tersebut, tak ubahnya penyamaan bahwa dirinya disamakan dengan binatang yang menjijikkan dan najis itu. Begitu pula dengan ‘Jancok’ yang kadang ada yang memelesetkan dengan ungkapan ‘Jangkrik’ atau ada sebagian yang lain memakai ‘Jambu’. Semua itu tergantung kebiasaan penggunaannya.
            Selain ungkapan yang telah disebutkan di atas, ada lagi istilah lain yang sampai saat ini masih sering disemarakkan dalam sehari-hari dan terkadang juga ditiru oleh sebagian temanku. Yaitu kata ‘Tempe’. Entah mengapa ungkapan itu kugunakan. Lebih-lebih jika amarah meletus dan ingin menjeritkan sebuah kata yang melegakan dada, maka ‘Tempe’ lebih sering keluar dari bibirku ketimbang ungkapan yang lain. Padahal kalo dilihat dari artinya, ‘Tempe’ sebagaimana yang dideskripsikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah makanan untuk lauk nasi, dibuat dari kedelai yang diberi ragi. ‘Tempe’ pun bermacam-macam. Ada ‘Tempe Benguk’ yang dibuat dari biji kara benguk yang sebetulnya beracun. Entah seperti apa tempe ini. Yang jelas keterangan ini terdapat dalam KBBI. Ada ‘Tempe Bongkrek’ yang dibuat dari ampas kacang dan ampas kelapa (setelah diambil minyaknya). ‘Tempe Bungkil’, terbuat dari bungkil kacang tanah yang telah diperas kandungan minyaknya. ‘Tempe Gembus’ terbuat dari ampas kelapa kedelai. ‘Tempe Jagung’ terbuat lembaga biji jagung. ‘Tempe Kacang’ terbuat dari bungkil kacang. ‘Tempe Lamtoro’ terbuat dari biji kemlandingan atau lamtoro yang cukup tua, tetapi yang masih segar. Dan yang terakhir adalah ‘Tempe Turi’ yang terbuat dari biji turi tua dan sudah kering. (KBBI)
Apapun makanannya, tempe lauknya...
            Sampai saat ini, aku masih bingung kenapa aku gunakan istilah itu. Apakah karna aku tak ingin mengungkapkan kata-kata kotor? Apakah ada filosofinya dibalik ungkapan itu? Menurutku pribadi sich, mungkin, salah faktor utama mengapa kugunakan kata ‘Tempe’ untuk meluapkan jerit hati dan kadang juga kugunakan untuk memanggil seorang teman adalah karna aku tak ingin menggunakan kata-kata kotor. Sedangkan untuk masalah flilosofinya sich kayaknya gak ada dech. Kalo pun dibuat-buat ya sah-sah saja.
            Kalo mau difilosofiskan, aku akan menggambarkan ‘Tempe’ sebagai salah satu lauk terfavorit di Indonesia. Betul gak? Makanya, apapun makanannya, ‘Tempe’ tetap menjadi lauk yang pas untuk segala makanan dan sayuran yang ada. Mau pakek sambal tomat, ‘Tempe’ akan menunjukkan eksistensinya yang lezat. Apalagi kalo digoreng agak sedikit gosong kemudian dicampur dengan sambal lalapan, wuih… lezatnya minta ampun dan bakal dijamin ketagihan. Tidak hanya itu saja, ‘Tempe’ juga cocok dan pas jika mau dicampur-adukkan dengan rujak. Sayur kacang panjang, tahu, ‘Tempe dan dibumbui dengan santan, lebih mantap kayaknya. Pokok enaklah dibikin apa aja. Yang makan juga gak bakalan bosen kalo tiap hari disuguhi lauk ‘Tempe’. Betul gak?
            Hem… kalo dikaitkan seperti itu, jika memakai teori sebab akibat dan teori dalam ilmu mantik, maka ‘Santri Tempe’ akan disimpulkan sebagai sosok yang bisa digunakan dimanapun dan kapanpun yang berarti bermanfaat. (Chieee… sok suit atau kata seorang teman perempuanku mengatakan ‘Lebay banget sich kamu tuch’). Seperti air gitulah gambarannya. Bisa ditempatkan dimanapun. Di gunung, hutan, selokan, gelas, kendi, botol, gentong, bak air mandi dan lain-lainnya, air tetaplah air yang bisa dimanfaatkan. Tapi, apakah begitu yah dengan kepribadianku yang seperti ini? Yah itu sih orang lain yang menilainya. Aku hanya bisa dan mampu melakukan apa yang dapat kuperbuat untuk diri sendiri lebih-lebih untuk orang lain yang membutuhkanku. Dalam sebuah hadis kan diterangkan yang artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi yang lain”. So, bermanfaatlah untuk yang lainnya. Seperti ‘Tempe’ yang bisa dinikmati tiap hari. Berusaha menjadi ‘Santri Tempe’ yang bermanfaat untuk teman, kawan, sahabat, dan ………..(Ehm… siapa tuch?).[roy]

            Kepanjen, Ahad 13 Februari 2011 di ruang tamu rumah. Jam 16:27 WIB
           

Jumat, 11 Februari 2011

Gayus Daroini

Foto Gayus; koruptor yang menguak koruptor
    Di awal tahun 2011 ini, nama Gayus Tambunan mewarnai media, baik elektronik maupun cetak. Untuk media elektronik, lebih khususnya televisi, tiap jam tayang berita, baik di TVRI, Indosiar, RCTI, SCTV, ANTV, Metro TV, TV One dan masih banyak saluran TV lainnya, yang menjadi berita terhangat adalah kasus pidana korupsi yang dilakukan oleh koruptor yang bisa jalan-jalan ke luar negeri; Gayus. Media cetakpun turut menyemarakkan kasus ini dengan tampilan foto-foto Gayus yang beraneka ragam plesetan yang telah dibuat oleh sesorang. Opini-opini tentang kasus ini berhamburan di berbagai media massa. Gayus seolah menjadi tamu agung yang harus disambut dengan penuh kemeriahan di bumi pertiwi ini.
            Ditengah maraknya berita itu, aku bersama teman-teman kamarku di asrama hanya menikmati lagu baru tentang Gayus. Sebuah lagu yang diciptakan oleh Bona Paputungan dengan judul “Andai Aku Gayus Tambunan”. Lagu itu tiba-tiba melesat jauh saat sidang Gayus memuncak. Lagu yang penuh sindiran untuk negeri ini. Lagu yang membuat seseorang akan tertawa geli saat mendengarkan lirik-liriknya yang kaya akan makna dari fenomena yang telah lama ditimpa negeri kaya yang miskin ini.
            “Lucunya di negeri ini… Hukuman bisa dibeli…” adalah salah satu kutipan teks lagu itu. Teks ini tentu sangat mengkritisi negeri yang penuh dengan dosa akibat ulah pejabat pemerintah. Akibat dari dosa itulah kemudian rakyat bawahan menderita. Padahal yang berbuat ketidak-adilan adalah pemerintah yang tak mau bertanggung jawab. Namun, pada kenyataannya, rakyat kecil dan terkucilkan yang justru menerima imbasnya.
            Bagiku, kasus Gayus ini hanyalah sponsor tak berujung untuk negeri ini. Bagaimana tidak? Lha wong kasus korupsi yang melanda bank Century saja tak berujung, apalagi kasus Gayus yang semakin hari semakin menampakkan kebobrokan moralitas pejabat negeri setelah beberapa nama pejabat terseret dan masuk dalam nominasi mafia hukum. Dalam kasus Century saja, terdapat keganjilan yang masih dipenuhi tanda tanya. Kalo diteliti, kok tiba-tiba saja kasus itu menghilang dan tak diungkit-ungkit lagi setelah tersebarnya kasus video mesum yang mulanya diberitakan bahwa tersangka pelakunya adalah Ariel Peterpan dengan artis cantik Luna Maya. Kasus video itu seolah menutupi kasus Century. Bahkan seakan tak ada yang perlu dipermasalahkan lagi saat kasus video itu semakin memanas dengan terkuaknya pelaku lain dalam kasus video itu. Cut Tari, artis berwajah manis juga terlibat dalam permainan gaya Nazril Ilham itu.
            Setelah kasus video yang meledakkan nasib generasi bangsa mulai memudar, media tak lagi mengungkap Century. Entah mengapa. Apakah ini yang dikatakan sebagai permainan media atau apalah itu. Yang jelas pertanyaan demi pertanyaan semakin menumpuk dan entah kepada siapa pula pertanyaan itu harus diajukan agar terjawab dengan jawaban yang melegakan.
            Jika kupikir-pikir, kasus Gayus yang telah menyeret beberapa nama pejabat yang dianggapnya korupsi di negeri ini, sama seperti halnya dengan kisah konyol yang ada di kamarku. Jangan dikira jika kamarku hanyalah kamar tentram yang hanya digunakan untuk istirahat, gurau, membaca buku, belajar, ngobrol dan makan. Kamarku yang kukenali adalah kamar yang memiliki sejuta kenangan dan segudang inspirasi.
Di kamarku yang telah dirias seperti kamar pengantin baru ini, selain teman-teman kamarku, ada juga teman dari kamar sebelah yang sering mangkal, bahkan ada yang sampai ‘menginap’ di ‘kamar ayamku’. Salah satunya adalah Agus. Nama lengkapnya adalah Muhammat Agus Daroini, nama itu dimilikinya sejak dia di lahirkan di kota Blitar. ( Eh… Kalo diperhatikan sich ada kesalahan dech dalam penulisan namanya. ‘Muhammat’, khan biasanya memakai ‘d’ diakhirnya, bukan memakai ‘t’. Sapa nich yang salah? Apa tukang ngetiknya yang kurang cermat? Ndak juga ah. Aku khan dikasih info dari sang pemilik nama. Jadi bukan aku yang salah. Aku tidak salah ngetik kok. Lha kalo begitu yang bikin nama itulah yang perlu dipertanyakan. Kira-kira siapa yah? Apa dokternya yang salah ketik nama? Ato bapak si Agus itu sendiri yang sengaja bikin nama kayak gitu? Ato bisa juga disebabkan ketidaktahuan mengeja kalimat? Bisa juga khan hal itu terjadi. Tapi yang jelas, nama itu telah menjadi nama Agus yang merupakan do’a baginya. Setauku sich dan aku juga pernah mendengarkan keterangan bahwa nama itu adalah do’a bagi si pemiliki nama. Keren juga khan. Unik lho. Hehe…)
            Temanku yang satu ini pemdiam. Tapi juga doyan guyon. Saat teman-teman kamar bergurau ria, Agus yang berbadan kurus ini hanya berdiam diri memperhatikan jalannya gurauan itu. Terkadang ledakan tawa dalam ruangan kamarku tumpah keluar. Bahkan suaranya bisa terdengar sampai satu asrama. Tapi, Agus hanya tersenyum menanggapai fenomena itu. Di sisi lain, ketika dia ingin bergurau, tingkah lakunya basa-basi. Tapi sekali mengeluarkan kata-kata, ungkapannya itu menjadi perhatian bagi teman-teman yang lain. Kadang, kata-katanya juga bisa membuat sakit hati bagi yang diejeknya. Tapi semua itu sudah menjadi biasa. Jadi, dapat dipastikan tak ada istilah sakit hati, marah, dendam ataupun sampai bertengkar. Semua gurauan atau ejek-ejekan dengan kata-kata kotor seperti menjadi rutinitas sehari-hari yang tak dapat diganggu gugat. Kadang juga menjadi obat penawar sumpek.
            Jikalau Gayus Tambunan bisa mempengaruhi publik dengan kata-katanya di depan kamera, maka Agus Daroini juga bisa menjadi perhatian teman-teman lainnya saat Agus mengeluarkan kata-katanya yang bervariasi. “Eh … Dhuha… Kamu kalo makan harus pakek helm, trus dilengkapi dengan STNK dunk!!”, ledek Agus suatu malam. Rontan saja pandangan mata teman-teman tertuju pada sosok Dhuha, teman kamar berbadan jumbo dan paling cepet kalo tidur, yang sedang makan malam di kamar. Akhirnya tawa pun tak terelakkan. “Hahahahahahahahaha”, tawa itu meledak begitu saja dalam ruangan kamar yang berisikan tiga ranjang tingkat dengan enam penghuni. Malam itu, Dhuha makan sambil telanjang dada. Kebetulan di belakangnya ada helm warna putih milikku. Gambarannya, dia seperti pembalap yang meninggalkan helmnya karna terburu-buru untuk pertandingan.
             Suatu hari, entah karna alasan apa, istilah ‘Gayus Daroini’ tiba-tiba populer di ruang kamarku. Mungkin sebutan itu muncul untuk menanggapi lagu Bona dengan judul “Andai Aku Gayus Tambunan”, yang bisa jadi dinyanyikan oleh Agus pada satu kesempatan. Atau istilah itu disemarakkan disebabkan Agus diledek sebagai sosok koruptor yang namanya diplesetkan. ‘Agus’, sehari-harinya dipanggil ‘Gus’. Begitu pula dengan ‘Gayus’, maka panggilannya adalah ‘Yus’. Dengan demikian dari dua panggilan itu bisa dipelintirkan antara ‘Gus’ dengan ‘Yus’ yang agak-agak mirip. Dari situlah kemudian bisa dikolaborasikan dengan sebutan ‘Gayus Daroini’ agar antara Gayus Tambunan, terdakwa kasus korupsi, dan Agus Daroini, mahasiswa fakultas Saintek UIN Malang, bisa melegalkan segala obral kata saat bergurau di kamar. Hehe …
            Namun, yang ingin dicapai dari semua yang ada, adalah harapan agar apa yang terjadi dengan pribadi Gayus Tambunan dan Muhammat Agus Daroini dapat diambil hikmah tentang perkataannya yang menjadi perhatian orang-orang disekelilingnya. Sebab, saat ini sangatlah sulit untuk mencari seseorang yang perkataannya bisa menjadi perhatian dan panutan. Namun, lucunya adalah, bahwa kata-kata yang keluar dari Gayus maupun Agus adalah kata-kata yang tak terlalu menjadikan motivasi untuk yang lainnya. Ah… andai saja kata-kata Pak Presiden bisa seperti Gayus dan Daroini.[roy]  

    Gedung B lantai satu, kampus hijau, Jum'at 11 Februari. pukul 08.44 WIB

Rabu, 09 Februari 2011

Singo Gendeng

Lambang kebesaran Arema
Sore hari, Ahad 6 Februari 2011, ba’da ashar aku berangkat dari rumah menuju kampus hijau UIN Maulana Malik Ibrahim. Aku mengendarai motor supra X-ku yang bernomor N 4213 FH. Jalanan dari kota Kepanjen menuju Malang tak seramai seperti lawan arus jalanan dari Malang ke kota Panjen –sebutan singkat kecamatan Kepanjen yang mulai dipenuhi dengan bangunan-bangunan modern—sebab, sore itu klub sepak bola ternama di Indonesia; Arema akan tanding melawan Persipura di stadion Kanjuruhan yang terletak di kota Kepanjen tersebut.
            Meskipun jalanan menuju Malang tak semacet lawan arus, tapi aku harus memperlambat perjalanan sore yang terang itu. Bus besar ada di depan motorku yang sulit kusalip dari samping kiri. Jalanan terlalu sempit. Sedangkan untuk menyalip dari samping kanan lebih rumit lagi karna ‘motor-motor liar’ dan mobil-mobil pick-up dari seporter Arema ‘memelototi’ semua yang ada di depannya sambil mengibar-ngibarkan bendera berlambang singa. Sesekali aku harus ngerem dadakan. Aku hanya dapat bersabar dengan kecepatan 40 km/second di belakang kepulan asap hitam bus itu.
            Baru setelah perjalanan sekitar lima kilometer dari pertemuan awalku dengan bus jurusan Banyuwangi itu, aku bisa menyalipnya denga lega. Entah, bus apa yang membuatku tak sabar untuk menyalipnya. Kalo gak salah sich… bus Harapan Jaya. Warnanya putih yang diselingi warna kuning dan sedikit ada warna merah diantara warna kuning itu.
            Sepanjang perjalanan, aku mencoba merenungi suporter Arema yang selalu tampak kompak dimanapun dan kapanpun. Para pendukung kesebelasan yang bernamakan Aremania ini seakan tak pernah layu ditelan masa. Dari tahun ke tahun, para pendukung semakin menampakkan kesetiaannya pada Arema yang memiliki julukan ‘Singo Edan’. Tak mengherankan jika Arema tak repot-repot mencari promosi iklan untuk pendanaannya. Cukup dengan uang masukan dari hasil pembelian tiket sporter, dana Arema mencukupi perjuangan tim sepak bola kesayangan kera-kera ngalam itu. (Iya tah? Masak sich? Ya… itu sich berita dari kawan-kawanku yang fanatik banget ama Arema. Kalo aku sendiri sich, aku tak terlalu tergiur dengan Arema. Bukannya aku tak bangga dengan Arema. Ya biasa-biasa aja lah. Jika Arema menang dan menjadi juara, aku ya turut senang. Dan jika kalah dalam pertandingan, aku ya gak sedih. Ya mungkin aku buka Aremania banget, toh meskipun aku punya dua kaos Arema. Hehe… J )
            Andai saja aku seperti Arema. Menjadi idola fans-fansnya tanpa mempromosikan diri di depan publik dan tak perlu repot-repot nyari kenalan, mungkin aku akan melebihi kepopuleran artis-artis ibu kota. Seperti halnya Irfan Bachdim, dengan modal ketampanan wajahnya yang bermain di klub sepak bola Persema Malang, akhirnya Irfan direkrut juga menjadi bintang iklan di Pocari Sweat. (wah-wah, pengen jadi artis nich kayaknya. Laguin aja tuch trek lagu dari Hancur Band; Tuhan,,, aku pengen jadi artis. Wkwkwk)
            Tapi apapun namanya, entah itu pangkat, jabatan, gelar, ataupun menjadi seorang artis, yang lebih mempengaruhi dampak dari semua itu adalah prosesnya. Di era globalisasi yang heboh ini, sudah banyak hal-hal yang instan. Segala sesuatu dapat digapai dengan cepat dan mudah. Ijazah contoh gampangnya. Mulai dari ijazah SD sampai gelar S1 dapat diganti dengan sejumlah uang. Tapi pertanyaan yang muncul kemudian adalah; Apakah dengan ijazah yang didapatkannya itu, seseorang akan memiliki kapasitas ilmu sebagaimana gelar atau pangkat yang disematkannya?
            (Woy!!! Apa-apaan ini? Apa hubungannya Arema, Singo Gendeng, Aremania, artis dengan pangkat dan jabatan? Apa-apaan sich ini? Kok ada juga globalisasi dan instan? Nyasar yach? Kok jauh amat lah pembahasannya? Seperti pesawat tujuan Mesir yang nyasar ke Jepang!)
            Ya itulah akibat terlalu semangat menulis. Apapun akan ditabrak. Semua yang ada dalam pikiran ingin ditumpahkan semuanya. Ya sama-lah seperti banteng atau sapi yang mengamuk. Keduanya akan memberontak semua yang ada di depannya. Begitu pula dengan menuliskan sesuatu. Tak memandang apapun yang diketikkannya. Asal-asal nulis aja. Kalo memang gak nyambung ya nanti juga bisa disambung-sambungin juga khan? Hehe…
            Kaitan antara Arema, Singo Gendeng, Aremania, artis, pangkat, jabatan, globalisasi dan instan, semua itu bisa dan sah-sah saja dikaitkan dan dihubung-hubungkan. Arema, takkan bisa hidup tanpa suporter Aremania. Singo Gendeng, itu hanya istilah dariku yang kubuat-buat untuk menggambarkan supporter Arema yang sepertinya emang ‘gendeng’. Istilah edan sudah populer bagi Aremania. Ya… bukannya aku mau mengganti slogan mereka. Ini hanya asumsiku saja. Mengapa kok gendeng? Ya gimana gak gendeng jika terkadang Aremania itu terlalu berlebihan ‘cinta’ pada Arema. Sampai-sampai wajah ganteng atau cantik berubah menjadi warna biru saat pertandingan berlangsung. Begitu pula dengan masalah keuangan. Aremania tidak hanya dicukupkan dengan membeli tiket saat pertandingan. Sebagian besar Aremania juga akan membeli atribut yang bikin heboh lapangan sepak bola. Entah itu terompet angin, boneka singa, bendera besar, petasan (Tapi sekarang sudah jarang. Takut ditangkap dadakan oleh polisi. Hehe) dan satu lagi yang tak boleh ditinggalkan; kaos Arema dengan bermacam model.
            Nah, semua itu juga tak lain adalah dampak globalisasi yang ingin meniru gaya-gaya suporter luar negeri. Tapi, Arema, akhir-akhir tahun ini juga tak bisa dipandang sebelah mata. Prestasinya yang pernah meraih piala ISL di tahun 2010 membuahkan semangat baru. Tak ayal jika kemudian suporternya semakin ‘gendeng’ saja dibuat pemandangan yang sangat istimewa bagi Aremania setelah menumbangkan Persija Jakarta dengan skor akhir 5-1 pada pertandingan final di stadion Glora Bung Karno.
            Setelah kemenangan itu, suporter tidak berhenti untuk mengaungkan taringnya yang tajam dihadapan publik. Perayaan kemenanganpun tak dapat dihindari. Jalanan kota Malang saat itu berubah menjadi aliran warna biru untuk menyambut Arema. Pemain kesebelasan Arema beserta pelatihnya; Robert, keliling kota Malang yang dikawal polisi. Dari Malang kota menuju stadion Kanjuruhan lalu menuju Kota Baru. Sebuah pemandangan yang sangat luar biasa. Seperti supporter Manchester United di Inggris dengan kaos merahnya yang membanjiri jalanan. Aku baru pertama kali melihat pemadangan ‘gendeng’ seperti ini.
            (Arema, Aremania, Singo Gendeng dan globalisasi udah dibahas. Nah, tinggal artis, pangkat, jabatan dan artis nich yang belum dibahas di atas?
            Oke. Aku akan memulai dari instan. Semua orang pasti tau dimana tulisan instan banyak ditemukan. Hemmm… tentu di bungkus mie rebus khan? ‘Mie Instan’, begitulah nama yang terpampang di tiap bungkus mie itu. Instan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Ugh… pasti dech ngambil di KBBI! Yah mau gimana lagi. Lha wong itu sudah harga mati dan menjadi rujukan kok. Wek…), adalah langsung (tanpa dimasak lama) dapat diminum atau dimakan. Itu arti secara harfiahnya. Kalo sekarang dikaitkan dengan dengan artis, jabatan dan pangkat, maka hal itu hanyalah menekankan pada proses peraihan label artis, jabatan atau pangkat tersebut.
            Kalo menurutku sich cuma ada dua model untuk meraih ketiganya itu. Ya… instan itulah diantara metode yang dipakai untuk meraihnya. Dengan artian bahwa untuk menjadi artis, memiliki pangkat dan meraih jabatan itu dapat diraih dengan cepat dan mudah. Cepat dan mudahnya itu dapat dilihat dari jumlah uang yang dimiliki seseorang untuk meraup semua itu. Ya, hanya dengan uanglah apapun dapat dimiliki di era ‘gendeng’ ini.
            Sedangkan cara yang kedua untuk meraih ketiganya itu adalah cara murni yang bertahap (Toh walaupun dalam prosesnya tetap meluangkan uang). Yaitu peraihan yang memang benar-benar dari hasil usaha keras seseorang. Tidak mengandalkan kekayaan sedikitipun untuk meraihnya, toh sebenarnya dia kaya.
            Dari kedua metode ini, tentu sangat ada perbedaan yang mencolok. Selain dari pengalaman hidup, perbedaan itu juga dapat dilihat dari sisi ilmu-ilmu baru yang tentunya banyak dimiliki oleh seseorang yang lama berproses untuk meraihnya. Sedangkan orang yang meraih dengan cara instan, maka hasil instan itulah yang dimilikinya. Tanpa pengalaman dari orang lain maupun dari apa yang akan dimumpuninya. Entah, di dunia artis, infotainment, politik, organisasi, bahkan mungkin juga dalam bermasyarakat.
            Nah, dari pemaparan di atas, jika dikaitkan dengan ‘Singo Gendeng’ yang telah kuasumsikan, maka akan dapat ditarik pemahaman bahwa untuk menjadi klub besar seperti Arema yang juga memiliki suporter terbanyak di Indonesia dan pernah meraih penghargaan suporter terbaik pula, tidaklah mudah. Tidak dapat diraih dalam waktu sejam, sehari, sebulan bahkan setahun. Bahkan untuk menorehkan sejarah yang mengagumkan bagi warga kota dingin Malang ini, membutuhkan pergantian generasi dari masa ke masa.
            Demikian pula bagi diriku ini jika ingin meraih segala impian. Tak bisa diraih dalam waktu yang singkat. Jika impianku ingin menjadi penulis, apakah kucukupkan saja dengan copy-paste tulisan yang tersebar di internet lalu kubukukan dengan mengannggapnya karyaku sendiri? Atau membayar seseorang untuk membuatkanku karya tulis yang bisa menjadi best seller? Ah… mudah dan gampang saja bagiku untuk melakukan hal itu. Tapi yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah pantaskah aku yang memimpikan hal itu, melakukan tindakan yang tak sepatutnya dilakukan? Mana tanggung jawab sebagai seorang yang pernah mempelajari etika? Apakah dengan cara itu impian akan dapat diraih dengan sempurna? Tentu jawabannya sudah dapat dikira-kira bukan?
            Untuk itulah dengan ketekunan, dengan berproses dan dengan bertawakkal kepada Tuhan yang telah memberi nikmat dan rahmat-lah, selayaknya bagi yang ingin mengejar impian, memikirkan ribuan kali untuk menghasilkan hasil terbaik tanpa mengenyampingkan campur tangan Tuhan. Demikian juga dengan Arema yang sepatutnya pula tidak melupakan pertolongan Tuhan Yang Maha Penyayang, yang telah menjadikannya tim kesebelasan terfavorit di Indonesia. Toh, ‘gendeng’ bagiku adalah istilah lain dari ‘edan’ tapi maknanya sama. Sama-sama memiliki suporter yang kompak. “Salam satu jiwa”[roy]
               
            Al-Faroby, Rabu 9 Februari 2011, pukul 07.28 Pagi  

Minggu, 06 Februari 2011

Putusnya Layang-layang Sang Pendekar

Layang-layang; masa lalu yang hilang [roy]
Masih teringat di benak ini. Bulan Januari, entah hari apa.Yang jelas adalah tanggal 13, tahun 1994. Kisah itu terekam dengan sempuran dalam memori otakku. Kejadian unik yang pertama kali kurasakan dalam sejarah hidupku. Bila kuingat, senyum bibir melebarkan pipiku ini.
            Sore itu, langit biru menaungi acara permainanku. Di sawah depan rumah, kuterbangkan layang-layang yang siap untuk bertanding dengan musuh-musuhnya. Hampir dua bulan aku menerbangkan layang-layang yang kubuat sendiri dari bahan bambu, benang jahit dan kertas minyak. Lebih kreatif dari pada teman-temanku yang membeli layang-layang di warung Wa’ San dengan harga dua ratus rupiah. Padahal, aku dengan dua ratus rupiah mampu membuat lima layang-layang yang tak kalah hebat goyangannya dengan layang-layang buatan Wa’ San.
***
            “Ayo To!!! Tunjukkan kehebatanmu!!! Kali ini aku takkan kalah denganmu lagi!!!”, jeritan Kang Kasno dari tengah sawah membuyarkan lamunanku.
            “Oke… aku terima tantanganmu!!!” kataku dengan semangat sambil menarik benang layang-layang yang mulai pudar warna aslinya.
“Alah Kang Kang… Nanti yo kalah lagi”, kataku lirih. Sebenarnya, sudah tak terhitung berapa kali Kang Kasno, anak lurah desaku itu kalah bertanding denganku. Terakhir kali, saat Kang Kasno kalah, dia menamparku dengan sandal jepitnya karna menuduhku bermain curang. Tapi aku tak melawannya. Selain lebih tua, tubuh Kang Kasno lebih besar dari pada diriku yang kurus keriting.Kulitku-pun hampir mirip kulit orang Irian akibat berjemur di sawahtiap hari sebab menerbangkan layang-layang yang sangat mengasyikkan itu.
            Satu alasan lagi mengapa aku tak melawan  Kang Kasno saat menamparku adalah karna Ayu, adik perempuan Kang Kasno, ada di TKP (Tempat Kejadian Perkara).Bahkan Ayu berusaha mencegah kakaknya yang sombong itu, agar tidak menamparku. Aku tak sanggup melihatAyu dari jarak  yang begitu dekat. Bisa-bisa aku mati berdiri seandainya dia menolongku saat kejadian itu. Tapi tidak, Kang Kasno langsung membawa pulang adiknya yang sangat cantik itu, setelah menamparku.
            “Ayu… oh Ayu Rahmawati…!!!” nyanyiku dalam hati.
***
            Kali ini aku akan menunjukkan bahwa aku tidak akan dituduh curang lagi oleh Kang Kasno. Aku adalah ‘Pendekar Layang-layang’ yang patut diteriakkan adik-adikku di sawah saat aku menang. Aku-lah yang pantas menguasai wilayah sawah depan rumahku dengan jurus ‘Aji-aji Nyungsep’ layang-layangku yang telah dikenali oleh teman-temanku di sawah kampungku.
            Kutarik benangku dengan cepat. Angin kencang kini memihak pada layang-layangku. Dengan begitu aku akan mudah mengambil tempat di bawah layang-layang  Kang Kasno yang mulai ‘goyang dombret’ karna tidak menemukan angin. Badan sebelah kiri layang-layangku mengambil tempat. Tepat di bawah layang-layang si kepala besar itu. Posisi seperti ini akan mudah untuk memutuskan  benang layang-layang miliknya. Segera kubawa lari sambil kutarik dengan cepat benangku. Inilah yang kusebut sebagai jurus ‘Aji-aji Nyungsep’-ku yang paling manjur untuk mengalahkan musuh kepala batu itu.
“Wush… Ssssttt… Del…”, layang-layangku putus. Aku terkejut. “Hah… Tidak. Tidak. Tidak mungkin ini terjadi”, aku tak percaya akan kejadian di sore ini. Layang-layangku putus dan menjadi rebutan teman-temanku.
            Sesaat sebelum layang-layangku putus, aku dikejutkan suara yang sangat kukenali. Yah… itu adalah suara Ayu, bidadari kecilku, yang berteriak di pinggir sawah. “Warto, Aku benci kamu! Aku benci kamu! Aku tak mencintaimu”, suara itulah yang membuatku cengang hingga tak bisa berkosentrasi dengan posisi layang-layangku yang seharusnya bisa mengalahkan Kang Kasno di sore yang indah itu.
            “Hahahahaha…. Kapok kowe Le… pulang sono! Ambil lagi layanganmu! Ayo kalahkan Aku!”, suara Kang Kasno menggelegar mengalahkan suara hembusan angin sawah yang terdengar jelas di telingaku. Tapi aku tak menghiraukannya. Aku justru tak paham dengan ucapan Ayu itu. Terkejut. Penasaran. Pertanyaan demi pertanyaan melintas di benakku. Ada apa ini?
            Aku berlari menuju Ayu yang masih berdiri di pinggir sawah. “Apa-apaan ini Yu? Kowe serius toh mutuske Aku? Ono opo sebenere? Crito! Crito!”, tanyaku padanya penasaran. “Alah… kuwe guyon kan?”, hiburku.
            “Aku benci kamu To! Pergi sana! Jangan ganggu Aku lagi!”, teriak Ayu yang diiringi tangis air mata yang mulai membasahi pipi lembutnya.Aku mencoba mengusap air mata di pipinya. Tapi justru di tampar. “Plak!!!”
            “Aduh”, triakku kesakitan. “Ada apa toh Yu?” tanyaku semakin penasaran. Ayu tak menjawab, bahkan lari menjauhiku, kemudian pulang.
            Aku heran. Gerangan apa yang membuat Ayu mengatakan kata-kata seperti itu. Meskipun aku sudah tak lagi gemetar saat menghadapinya, tapi apa yang membuatnya berubah begitu saja. Padahal baru setengah bulan yang lalu aku mengungkapkan cintaku padanya di belakang kandang sapi milik Pak Haji Badrun, setelah ngaji.
            Pertanyaan-pertanyaan ganjil menyerangku. Apa salahku? Ada apa ini? Tiba-tiba saja hati ini terasa tertekan.
            “Cak… Cak… Iki opo Cak?”, teriak adik kecilku yang berlari-lari kecil diikuti Emakku dibelakangnya membuyarkan lamunanku. Adikku melambaikan kertas yang dibawanya, lalu memberikannya padaku.
            “Undangan teko sopo toh iku Le…?”, Tanya Emak sambil mengambil adikku yang kemudian dipeluknya dalam gendongan kasih sayangnya.
            Aku terkejut. Ini kan undangan dari Ayu untuk ulang tahunnya yang ke-17. “Mati Aku…”, ucapku kaget sembari menamparkan kertas undangan itu ke dahiku.
            “Ini undangan dari Ayu Mak. Aku lali lek saiki Ayu ulang tahun. Padahal wingi aku wes tuku kado speial kanggo Ayu. O alah Yu… Yu…”
***
            Aku sadar kalau Ayu marah dan memutuskan cintaku karna Aku tak hadir dalam pestanya. Aku lupa. Maafkan Aku Yu…
“Sumpah Aku lupa Yu. Mosok gara-gara Aku ndak hadir nang undanganmu,  kowe tego mutuske cintaku seng tulus iki, lak yo kebangeten toh?”, tanyaku pada Ayu di jam istirahat sekolah keesokan harinya.
“To… Kamu ngerti ndak seh… Aku tuh wes nyiapin pesta kecilku karo temen-temen kelas buat nyambut dirimu juga To!!!”, tutur Ayu dengan nada agak marah. “Kamu tau ndak To, kalau tanggal 13 Januari itu adalah ulang tahunmu dan ulang tahunku?”, terang Ayu yang mengerutkan keningku. “Aku tau To, lek kowe iku ndak pernah diulang tahuni karo Makmu. Sebab itu, Aku memeriahkan ulang tahunku karo ulang tahunmu”.
“Masak seh Yu? Kamu tau dari mana? Tau dari sopo? Lha wong makku aja ndak pernah crita kok tentang tanggal kelahiranku. Seng Aku weruh iku, Aku lahir selamet. Aku biso dodolan layangan plus biso jadi ‘Pendekar layang-layang’ ndek kampongku.Makku seneng kok... Tambah seneng maneh lek Makku ngliat Kamu dolan nang omahku. Hehehe…”
“Oooo… dasar cowok deso! Bocah gemblong. Ndak ngerti karo maksudku”, bagai petir. Ayu marah padaku.
“To… Aku melakukan kemeriahan pesta ulang tahunku itu karna Aku sayang banget ama Kamu To. Tapi, Kamu justru tidak hadir. Kamu lebih suka dan cinta pada layanganmu dari pada Aku. Kamu lebih berat meninggalkan layanganmu dari pada Aku sampai Kamu lupa dengan hari ulang tahunku. Aku benci. Aku benci Kamu. Kita Putusan aja To. Aku tak mau lagi menjadi cinta konyolmu itu To. Pergi sana. Jangan dekati aku lagi.”
“Meskipun cuma setengah bulan, Aku merasakan cintamu Yu. Kamu adalah cinta pertamaku. Aku akan tetap mencintaimu Yu… Aku tidak akan mencari cinta lain sampai kamu kembali padaku Yu… Maafin Aku Yu…”
“Yu…”
“Pergi!”
“Ayu…”
“Pergi! Jangan dekati Aku lagi”
Aku hanya bisa berdiri tegak dengan penuh ketegangan. Tak terasa air mata menetes membasahi pipiku. Aku Tak kuasa menahan luka yang begitu dahsyat mengguncang jiwaku ini. Hatiku terasa ditusuk ribuan pedang berkarat. Akankah cintaku itu pergi jauh meninggalkanku? Akan kemana diriku ini? Cinta pertamaku hilang begitu saja.
***
            Kuratapi kesedihanku dengan sinar matahari sore yang terhampar di ujung barat. Menghiasi pemandangan sawah desaku yang subur. Pohon-pohon di pinggiran sawah menari-nari bersamaan dengan hembusan angin sepoi-sepoi. Sejuknya menampar mukaku yang seolah tak memiliki harapan hidup. Tak kuat hati ini membendung derasnya luka yang mengiris-iris hati ini. Sakitnya melebihi sakit gigiku. Sebab, seingatku, ketika aku sakit gigi di waktu kecil, aku masih bisa berteriak kesakitan. Tapi, saat ini, ketika hatiku yang sakit, aku tak mampu menjerit. Ini adalah sejarah pertama kali kurasakan sakit hati. Begitu dahsyatnya. Hingga membuat bibirku membungkam. Lidahpun tak mampu berkecap. Terasa sulit sekali menelan ludah. “Oh… Merananya diriku ini…” rintihku dalam hati.
            Cintaku benar-benar putus dengan putusnya layang-layangku. Akhirnya kubakar semua dagangan layang-layangku yang terpajang di halaman rumah. Semua temanku yang menerbangkan layang-layang di depan rumahku kumarahi dan kulempari batu agar tak memainkan lagi layang-layang. Sejak itu tak ada lagi layang-layang yang beterbangan di kampungku. Takkan ada lagi yang menyebutku ‘Pendekar Layang-layang’. Dan takkan terulang kembali kisah cintaku pada Ayu, gadis desa yang mempesona itu.
Selesai diketik pada hari Rabu malam Kamis tanggal 9 Juni 2010 pukul 22.18 WIB
Kucoba mengumpulkan kembali puing-puing kalimat dalam cerita
Untuk merangkai kembali asa dan cita yang sempat terlepas
dan hampir menghilang.