Jumat, 15 April 2011

Tuhan, Aku Ingin Bercerita 11#

Diantara adat istiadat yang masih kental di tanah Jawa ini adalah shalawatan dan tahlilan yang mengakar di kalangan nahdliyîn. Tiap malam Jum’at ritual-ritual semacam itu terdengar jelas dari corong-corong speaker mushalla dan surau, bahkan tak luput pula masjid jami’ yang terkadang sampai disiarkan melalui pesawat radio. Lain cerita dengan di pedesaan yang sebagian besar didominasi orang-orang yang masih melestarikan da’wah ala wali songo. Tiap satu pekan satu kali dari rumah-rumah tiap perkampungan digilir untuk mendapat bagian untuk mengadakan acara tahlilan plus diba’an—istilah populer yang merupakan kata ganti dari shalawatan dan ada pula yang menyebutnya srakalan yang ditukil dari salah satu bait dalam shalawat nabi—yang diselingi dengan pembagian makanan yang masyhur dengan istilah berkat yang berarti makanan yang berbarokah.
Cerita yang sama juga kualami. Sudah tiga kali ini, tiap malam Jum’at, aku bisa mengikuti rutinitas diba’an di mushalla samping rumahku. Saat mengikuti acara diba’an tadi malam, aku merasakan perbedaan dengan masa kecilku dulu. Memang, diba’an di mushallaku tadi malam dihadiri sekitar 7 orang dewasa dan 15 anak-anak yang mengaji di mushalla tersebut, namun suasana telah berubah. Tak sama dengan apa yang kualami sejak usiaku 5 tahun hingga 11 tahun.
Jika kuingat-ingat kembali masa laluku, ketika pembacaan diba’, anak-anak kecil yang kebetulan mengaji di mushalla itu sangat antsusias sekali untuk melantunkan shalawat dengan suara yang lantang. Sesekali menegadahkan tangan ke atas sembari berdo’a sok khusyuk yang terkadang dianggap lelucon oleh teman yang lain. Tapi, itulah diantara keunikannya. Barisan pembacaan diba’iyah itu melingkar dan rapat. Tidak seperti tadi malam yang jaraknya berjauh-jauhan. Anehnya, justru merapat ke pinggir-pinggir tembok. Di sisi lain, gurauan anak-anak kecil menambah kurangnya gairah diba’an.
Tak dapat dielakkan bahwa jaman sudah berubah. Pergaulan anak-anak kecil saat ini juga tak sama seperti dulu. Entah bagaimana nasib generasi bangsa di masa mendatang. Utamanya generasi dari kalangan Islam yang sejatinya adalah benteng Islam. Jika saat ini anak-anak kecil tak diajari tentang Islam, sejarah Islam ataupun sejarah Nabinya, bagaimana akan meneladani dan bersikap secara Islami?
Tahlilah ataupun shalawatan, selain untuk meningkatkan nilai pahala dan merefleksi kehidupan baginda Nabi Muhammad saw., juga memiliki hikmah untuk menjalin persaudaraan sesama muslim. Dampak yang ditimbulkan bukan hanya untuk saat duduk bersama dalam majelis dengan keakraban senyum sapa saja, tapi juga persatukan ukhuwah Islamiyah yang pada saat ini hampir memudar.
Kalau boleh jujur, jika ada dua pemilihan untuk mengikuti antara diba’iyah dengan chatingan di facebook, kebanyakan akan memilih untuk chatingan dari pada shalawatan yang juga berlandaskan untuk menjalin silaturrahmi. Tapi apakah dengan chatingan tersebut akan berdampak pada titik temu tiga manfaat; pahala, merefleksi Sirah Nabawiyah dan menjalin Ukhuwah Islamiyah? Tentu tidak. Dapat dipastikan tidak akan bisa.
Untuk itulah, telepas dari pemahaman orang-orang yang mengatakan bid’ah, tulisan ini, penulis ketik untuk merenungi kembali bahwa pilar-pilar umat Islam di Indonesia masih terpelihara oleh tradisi-tradisi yang mengakar kuat di masyarakat tradisional. Bahwa upaya merusak Islam lewat pemikiran tak begitu besar dampaknya di masyarakat. Betapapun derasnya kucuran pemikiran nyleneh, masyarakat tradisional masih memiliki hati nurani yang dapat menimbang bobrok tidaknya pemikiran yang merusak Islam.
Namun, yang perlu dipertanyakan saat ini adalah generasinya. Apakah masih ada di masa mendatang generasi yang sealur dengan kondisi masyarakat tradisional saat ini? Bagaimana nasib generasi selanjutnya? Masihkah akan menjaga adat-kebiasaannya? Bahwa jargon Muhafadzoh alal qadîm as shalih wal akhdu bil jadîd al ashlah masih relevan dan akan terus menantang jaman. Wallahu a’lam.[roy] 

Kepanjen, ruang tengah rumah. Jum’at 15 April 2011, pukul 10.04 WIB

Tuhan, Aku Ingin Bercerita 10#

Sudah empat hari ini aku tak menuliskan sesuatu di atas lembaran digital. Bukannya tak ada waktu untuk mengetik, tapi tiga hari ini laptopku sedang bermasalah. Baru tadi malam temanku menginstal ulang laptopku yang akan menginjak umurnya yang ke-II. Aku membeli laptopku dua tahun yang lalu. Baru saat kuliah inilah aku mengoprasikannya dengan optimal. Berulang kali ganti anti virus lokal maupun yang non lokal hanya untuk mencegah dari penyakit yang dapat menyebabkan erornya laptop. Itulah laptopku yang sering dimasuki flasdisk-flasdisk pemelihara virus.
Kendala lain yang menyebabkanku kehilangan tema-tema tulisan adalah banyaknya problematika yang kian menumpuk. Bertambah hari maka akan bertambah pula beban yang harus kupikul. Tapi aku selalu berusaha untuk menjadikan problematika yang itu sebagai tantangan. “Jangan jadikan problematika sebagai beban, tapi jadikanlah sebagai tantangan”, salah seorang seniorku saat di pesantren pernah mengungkapkannya padaku.
Cukup rumit dan sulit untuk ber-­istiqomah menulis. Apalagi bagi pemula. Akan ditemui banyak kendala dalam menulis. Entah itu kurangnya kosakata, kabur dari tema, bahasanya rancu dan lain sebaginya. Tapi kalau memang diniati untuk belajar, seburuk apapun tulisannya, sesalah apapun tatanan bahasanya, dan sejelek apapun isinya, maka tetap akan dibanggakan oleh diri pribadi penulis. Karna, dengan demikian, seorang penulis telah berani untuk bikin revolusi dan menunjukkan jati dirinya yang ingin berjuang untuk menulis.
Tahun 2008, aku sering mendapat pertanyaan-pertanyaan yang sama dari teman-teman di pesantrenku tentang ‘bagaimana caranya menulis’. Mungkin, saat itu, aku memang dianggap memotivasi teman-teman karna beberapa tulisanku sempat ‘nampang’ di beberapa mading pesantren. Jawabanku kepada teman-teman hanyalah dengan membiasakan menulis. Menulis apapun yang ingin ditulis. Entah itu menulis tentang gundahan hati atau menulis kejengkelan pribadi penulis atas kejadian yang dialalminya ataupun sekedar surat cinta. Intinya adalah menulis.
Akupun demikian. Dengan kebiasaanku menulis di buku catatan harian sejak tahun 2006, sampai saat ini aku terus ingin mengembangkan wacana-wacana yang menarik. Barang kali saja, dengan usaha dan upaya yang kukerahkan –meskipun terkadang terseok-seok—aku biasa menjadi menciptakan buku dari jerih payahku sendiri. Semoga saja.
Tuhan, ditengah carut marutnya pikiran ini, aku memohon kepadamu agar membukakan pintu hidayah dan istiqomah dalam memperjuangkan agama-Mu. Aku yakin bahwa da’wah bil qalam lebih langgeng dari pada da’wah bil lisan. Untuk itulah, berikanlah kepada hambamu ini kekuatan agar bisa berjuang di jalan-MU. Amin. [roy]
Kepanjen, ruang tengah rumah. Jum’at 15 April 2011, pukul 08.15 WIB.


Kamis, 14 April 2011

Tuhan, Aku Ingin Bercerita 9#


Terlalu banyak yang ingin kutuliskan hingga aku bingung untuk menentukan tema yang ingin kutuliskan di lembaran-lembaran digital Microsoft word ini. Kebingungan itulah yang terkadang membuat jenuh dan malas untuk menulis. Untuk menghindari penyelewengan inilah ‘menulis apa yang ingin ditulis’ harus dijalankan tanpa harus menunggu jadinya tema atau menanti munculnya judul atau ide. Kubiarkan saja jari-jari tangan ini menari-nari di atas keyboard laptop. Aku takkan menahan kemauan pikiran agar bisa mengeluarkan semua keluh-kesahnya lewat tulisan. Dan pada akhirnya, akan lahir pula tulisan sedemikian rupa.
Kali ini aku ingin mengisahkan pengalamanku pagi hari ini. Sekitar jam sembilan pagi tadi, usai bermain sepak bola di stadion Kanjuruhan, aku menelpon seorang kenalan yang jauh hari sebelumnya mulai akrab lewat sms. Kenalanku kali ini adalah seorang perempuan yang kebetulan kuliah di UIN Syarif Hidayatullah, Depok-Jakarta.
Awal mula perkenalanku pada perempuan yang saat ini sedang proses penggarapan skripisi di jurusannya adalah melewati facebook beberapa bulan yang lalu. Mungkin karna saling memberikan kepercayaan, aku dan dia saling memberikan nomer HP. Setelah aku mendapatkan nomernya, aku tak langsung smsi dia. Kusimpan baik-baik nomornya di HP-ku. Sesekali aku kirimi sms hanya menanyakan kabar. Namun, beberapa hari terakhir ini, keakraban mulai terbangun dengan sendirinya.
Tak dapat dielakkan kalau aku tidak sekali dua kali kenalan dengan seorang wanita. Tapi tujuanku hanyalah untuk sekedar mengenal dan menjalin ukhuwah tanpa ada embel-embel untuk menjadikan korban tindakan negatif. Lebih-lebih untuk menjadikan target pacar. Sangat jauh sekali dari apa yang kuharapkan. Dari perkenalan inilah terkadang aku bisa menerima perbedaan perasaan seorang perempuan. Lebih dari itu, aku juga mengetahui informasi yang tak kuketahui sebelumnya.
Namun, perkenalanku dengan perempuan yang lebih akrab dengan panggilan ai, aen atau nie yang bernama aeniyah ini emang agak istimewa. Pasalanya, nenk ai’—begitulah kunyebutnya dalam sms—adalah mahasiswa UIN Syahid yang mengambil mata kuliah di jurusan perbandingan agama. Inilah yang melatar belakangi keakrabanku dengannya. Sebab, aku suka sekali dengan jurusan yang dipilihnya. Bahkan, beberapa buku yang sering kubaca dan sering diminati untuk kumiliki adalah buku-buku yang bertemakan pemikiran keagamaan –toh sebenarnya aku masih belum paham betul dengan tema-tema yang ada.
Dari komunikasi yang terjalin, aku sering menyakan pengalaman-pengalamannya selama studi perbandingan agama di jurusannya. Nenk Ai’ juga pernah penanyakan kepadaku tentang lokasi keagamaan yang selain diakui pemerintah di Indonesia. Tapi aku tak mengetahui tentang itu. Beberapa informasi tentang UIN Syahid dan perkembangan organisasi-organisasinya turut menjadi perbincangan menarik. Ah… Semakin bagus saja kisah pengalaman hidup di dunia ini.
Perbincanganku pagi tadi semakin membuatku tergugah untuk saling berkenalan dan menjalin silaturrahmi dengan mahasiswa maupun mahasiswi dari beberapa kampus, bahkan aku ingin sekali memiliki kenalan dari tiap-tiap universitas di Indonesia ini. (oh… mimpi kali ya? Hehe). Tapi setidaknya, aku telah memiliki puluhan teman akrab yang kuliah di berbagai unit kampus yang tersebar di tanah Jawa. Hanya saja, komunikasi jarang terjalin karna kendala kesibukan masing-masing mahasiswa yang memiliki latar belakang yang berbeda.
Tak selang beberapa menit berlalu dari obrolan-obrolah lewat HP, aku langsung menghubungi teman akrabku yang kuliah di IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Namanya Fauzi. Dia –kata salah seorang teman yang kebetulan juga kuliah di IAIN Sunan Ampel— jadi aktifis ulung di kampusnya. Aku mengenal Fauzi sejak tahun 2008. Dia memiliki potensi untuk menggerakkan masa dengan suaranya yang lantang. Semangatnya selalu menggebu. Keingin tahuannya membuatnya bermalam-malam untuk belajar dan membaca buku maupun kitab kuning. Begitulah, sekilas aku mengenal Fauzi. Tapi sayang, hari ini, Fauzi tidak bisa diajak. Dia memang benar-benar sibuk. Dan dia bilang akan menghubungiku usai acaranya.
Tak hanya Fauzi saja, aku juga mencoba menghubungi Khozin, temanku yang kuliah di IAIN Kalijogo Jogja, tapi tidak ada tanggapan dari dia. Mungkin sama sibuknya seperti Fauzi. Teman akrab lain –yang pernah menjadi petugas jaga di perpustakaan salah satu pesantren di Pasuruan—yang saat ini kuliah di STAIN Jember juga sempat kuhubungi lewat sms. Aku menanyakan aktifitas di kampusnya dan bagaimana pula organisasi-organisasinya. Katanya, lewat sms, dia hanya aktif di organisasi da’wah di jurusannya.  
Temanku yang satu ini memiliki kecerdasan yang luar biasa dari pada penulis sendiri. Namanya Miqdad Uwais. Dia pernah menjadi bintang pelajar dari sekitar 700 murid madrasah di salah satu pondok pesantren di Pasuruan. Miqdad, demikian penggilan akrabnya, saat di pesantren, dikenal sebagai ahli di bidang membaca kitab-kitab Islam klasik atau yang dipopulerkan dengan kitab gundul. Tak mengherankan jika saat aku akrab dengannya, dia sering ikut tampil dalam musyawarah fiqhiyyah.
Nenk Ai’, Fauzi, Khozin maupun Miqdad hanyalah empat nama dari beberapa teman yang kukenal di luar kampus UIN. Di luar sana masih banyak mahasiswa maupun mahasiswi lain yang belum kujalin komunikasi secara baik. Mungkin perlu juga –untuk tidak mengatakan harus—untuk mengenali mahasiswa dari kampus lain agar pengalaman kehidupan tak berkutat di UIN Mulana Malik Ibrahim saja. Dengan demikian, pengalaman dan cerita tidak akan berputar-putar tentang UIN Maliky melulu. Di luar sana masih banyak kehidupan dengan ciri khas tersendiri yang belum banyak dikenali.
Bagaimanapun juga komunikasi adalah salah satu yang menjadi dasar keakraban. Perkenalan  takkan lagi indah jika tak terjalin komunikasi dengan baik. Apalagi di era global ini. Alat komunikasi lebih mudah di dapatkan dari pada 50 tahun yang lalu. Tapi mengapa kekuatan komunikasi di masa lalu lebh dahsyat dari pada masa kini? Tentu semangat untuk menjalinlah yang melatar belakangi semua ini.
Memang, Allah swt. telah berfirman yang artinya adalah: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujurat [49]: 13), tapi yang menjadi pertanyaan sekarang adalah: apakah perkenalan tersebut sudah digunakan dengan sebaik-baiknya perkenalan? Wallahu A’lam. [roy]

    Kepanjen, di kamar yang sejuk dengan angin sepoi-sepoi yang masuk melalui jendela, Ahad 10 April 2011. Pukul 12.19 WIB.

Tuhan, Aku Ingin Bercerita 8#

Salah satu kesibukanku sejak akhir bulan Oktober tahun 2010 hingga hari ini adalah melayani pelanggan pulsa. Tiap hari aku harus sibuk untuk mengirimi pulsa kepada teman-temanku yang membutuhkan pulsa, baik pulsa sms untuk kartu Indosat maupun pulsa reguler dari berbagai macam kartu seperti XL, AS, SIMPATI, Three (3), Flexi, esia, star one, smart dan AXIST.
Hampir dua hari sekali aku pergi ke konter pembelanjaan saldo untuk mengisi saldoku. Lokasinya tak begitu jauh dari UIN. Sekitar satu kilo meter dari gerbang belakang UIN. Tepatnya di tempat yang populer dengan sebutan ‘Si Gura-gura’. Semua mahasiswa UIN tentu mengetahui tempat itu. Kadang aku belanja dengan mengendarai sepeda motorku sendiri. Terkadang meminjam dari teman. Pernah juga jalan kaki. Tapi yang sering adalah mengendarai sepeda ontel miliki teman kamar.
Cukup sibuk dan rumit, memang, untuk mengatur jalannya perkerjaan yang mungkin dianggap remeh dan mudah oleh teman-teman mahasiswa. Kadang, pekerjaan seperti ini hanya akan menambah beban pikiran. Bagimana tidak? Pengalamanku sampai saat ini telah membentuk karakterku sedemikian rupa; beban mental. Bahkan aku berani menyimpulkan bahwa untuk perdagangan semacam ini hanya membutuhkan modal sabar, sabar dan sabar.
Beberapa kasus yang kualami menjadikanku berfikir ribuan kali hingga terkadang aku merasa lebih dewasa. Tapi, dari sederet problematika yang sering kuhadapi selama ini –dan yang pasti dialami oleh pedagang-pedagang yang senasib denganku—hanyalah satu yang menjadi tekanan. Yaitu utang piutang. Beberapa teman yang kebetulan juga berdagang pulsa, sering mengeluhkan utang pulsa teman-temannya yang belum dibayar hingga berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Memang agak rumit untuk menyelesaikan kasus semacam ini.
Akibat dari kasus ini, saldo menjadi taruhannya. Jika benar-benar habis terkuras dengan utang-utang yang belum dilunasi, maka tamatlah riwayat kehidupan pedagang pulsa. Hanya itulah yang sering dikeluh-kesahkan.
Tapi, tidak bagiku. Serumit apapun untuk menjalankan bisnis kecil-kecilan ini, berbagai tantangan kuhadapi. Jika aku kehabisan saldo, aku akan mencari alternatif piutang pula. Aku meminjam sejumlah uang kepada teman-teman kamar yang kebetulan memiliki uang lebih dengan perjanjian dalam dua hari aku akan melunasinya. Modalku hanyalah tekad dan kepercayaan. Sedangkan untuk hasilnya, jangan ditanya. Man jadda wajada.
Kasus lain yang terkadang juga menjadi beban pikiran adalah tatkala salah nomer pengiriman.  Jika ada satu nomer yang tak sesuai dengan permintaan, maka akan terkirimlah pulsa tersebut ke nomer tujuan yang tidak dikenali. Tentu, bagi yang memperoleh pulsa nyasar itu, merupakan rejeki bagi dirinya, tapi menjadi penderitaan tersendiri bagi pedagang pulsa.
Ini hanya beberapa kasus saja yang pernah kualami dan dapat dipastikan juga bagi teman-teman yang senasib denganku. Belum lagi masalah yang tak dibayar-bayar hingga terlupakan. Pada akhirnya akan dianggap takkan mungkin dibayar dan tak ada harapan untuk menagihnya.
Toh meskipun begitu, ada banyak hikmah dari sejarah dagangku kali ini. Dari cara ini pula aku dapat belajar beramanah dan dapat mengukur amanah seseorang. Dari sekian pelanggan yang ada inilah aku juga belajar bagaimana cara mengahadapi seseorang tanpa harus takut salah, belajar berkomunikasi dengan baik, bertoleran dengan sebaik-baiknya toleran, dan berlapang dada dalam menghadapi segala cobaan yang bertubi-tubi menimpaku.
Terlepas dari menghakimi teman-teman yang tak membayar atau yang menunda pembayaran, aku hanya bisa memberikan komentar: “Mungkin dia memang sangat butuh bantuan pulsa. Biarlah dia sendiri yang berpikir. Mahasiswa maupun mahasiswi yang kukenali mungkin masih berada ditahap pendewasaan seperti halnya diriku yang butuh bimbingan dari siapapun.”
Aku berdagang pulsa hanya untuk biaya sampingan saja. Selama ini, aku hanya menyandarkan biaya hidupku dari orang tua. Meskipun pada kenyataannya kiriman uang dari orang tuaku itu mencukupi untuk biaya makan keseharianku di kampus, aku juga ingin berusaha untuk mencari biaya sendiri. Sebab, ada beberapa hal yang menjadikanku dituntut untuk ‘boros’. Salah satunya adalah pembelian buku.
Untuk itulah aku berusaha keras untuk bertahan dalam kesibukan berdagangku ini. Barang kali, dengan usahaku ini, aku dapat mencapai cita-citaku yang terseok-seok dan menjadikanku lebih berpikir matang dalam menghadapi masalah. Pengalamanku kali ini juga dapat dikatakan sebagai upaya pembelajaran dalam menghadapi dunia nyata di masa mendatang yang jauh lebih kompleks dari apa yang kualami saat ini.
Tak lupa pula untuk memohon kepada Tuhan Pemberi rizki agar tetap memberikan limpahan rahmat hingga menjadikan perjalananku ini penuh dengan limpahan barokah. Hanya kepada-Mu hambamu memasrahkan segala urusan. Aku, yang hina ini hanya dapat berusaha di bumi yang berlimpah ruah anugrah, sedangkan Engkaulah sebaik-bainya dzat yang pantas untuk kupasrahi dan yang menentukan semua urusanku. Wallahul Musta’an. [roy]
            Kepanjen, di ruang tamu yang sepi, 9 April 2011. Pukul 21.21 WIB

Tuhan, Aku Ingin Bercerita 7#

Akhir-akhir ini aku sering pulang kampung dari pada tinggal di asrama UIN. Ada beberapa hal yang menyebabkanku pulang ke rumah kakek nenek yang jarak dari UIN ke rumahku itu memakan waktu sekitar 45 menit. Kali ini, aku pulang lagi karna adik kandungku datang dari Lampung  sejak hari Selasa, empat hari yang lalu dan berencana untuk kembali ke Lampung nanti sore.

Aku dan keluargaku memiliki ikatan yang kuat meskipun pada kenyataannya hanya akulah satu-satunya anak yang tidak kumpul dengan keluargaku yang berada di Lampung. Ya, aku, sejak kecil –menurut cerita dari kakek nenekku—sekitar umur 40 hari, aku berhijrah dari Lampung ke Malang. Aku dipisahkan dari Ayah Ibuku karna setelah kelahiranku itu, Ayah dan Ibuku pergi ke Arab untuk bekerja di sana. Sejak itulah, aku tak lagi menyusu kepada Ibuku. Bisa jadi aku memiliki banyak saudara seibu karna—lagi-lagi menurut cerita kakek nenekku—aku menyusu ke banyak Ibu. Tapi, dilain cerita, aku telah menghabiskan banyak susu bubuk kalengan seperti SGM, DANCOW dan sejenisnya.

Jika diurutkan sejak kelahiranku, aku memiliki pengalaman yang cukup menarik untuk diceritakan. Memang sangat menarik sekali. Tiap kali kenalan dengan seseorang, aku pasti akan menceritakan asal-usulku. Mungkin dari latar belakang itulah aku memiliki banyak teman.

Bagiku, pengalaman, kehidupan dan kenalan tak ubahnya sejarah yang takkan hilang dari catatan lembaran hidup di dunia ini. Salah seorang teman perempuan semalam mengirimiku sms begini: “Hidup manusia itu seperti sebuah buku. Sampul depan adalah tanggal lahir dan sampul belakang adalah tanggal berpulang. Tiap lembarannya adalah hari-hari dalam hidup. Ada yang tebal, ada yang tipis. Hebatnya, seburuk apapun halaman sebelumnya, selalu tersedia halaman selanjutnya yang bersih, baru dan tiada cacat. Begitupun, seburuk apapun kemarin, Allah masih menyediakan hari yang baru untuk kita. Kesempatan untuk bisa melakukan sesuatu yang benar setiap hari, memperbaiki kesalahan dan melanjutkan alur cerita-Nya. Semangat merevolusikan diri!”

Cukup menggugah. Kemudian aku membalas sms itu: “Revolusikan diri!. Semangat teman!”. Menggugah memang. Manusia, utamanya para generasi bangsa yang sedang dan akan menuntut ilmu, butuh pada sebuah jamu khusus agar semangat perjuangan dapat berkobar dalam jiwa. Jamu atau suplemen khusus itu adalah motivasi. Bagaimanapun juga, dalam tiap-tiap jiwa manusia itu ada software yang menyimpan mesin yang dikenal dengan motivasi, namun, tak banyak yang menemukannya. Untuk itulah dibutuhkan perangkat lain di luar tubuh individu manusia. Yaitu rangsangan semangat dari orang lain. Baik itu orang tua, teman, sahabat ataupun kekasih. Yang jelas dan yang paling pokok adalah “dapat menggugah semangat”. Titik.

Tak dapat dipungkiri bahwa manusia itu tak seperti malaikat yang amal perbuatannya bisa eksis dan lurus. Tidak pula seperti iblis yang selalu berada dalam jurang nilai negatif. Anak cucu Adam memiliki karakter yang berubah-ubah. Kadang kala dalam sehari dapat menjalankan aktifitas dengan semangat yang menggebu. Namun, di hari yang lain, semangat itu luntur, bahkan hilang sama sekali. Itulah manusia.

Dalam kaitannya dengan tulisan ini, mungkin sangat pas dan cocok sekali dengan apa yang pernah disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. yang artinya: “Bekerjalah untuk duniamu  seolah-olah dirimu akan selalu hidup selamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati esok hari”. Barang kali, perintah kerja yang pertama adalah pekerjaan yang dapat membuahkan hasil, baik uang atau kebahagiaan, di dunia ini. Sedangkan perintah bekerja yang kedua tiada lain adalah beribadah. So, diantara kedua dua pekerjaan itu, tidak boleh tidak harus imbang. Apapun pengalamannya, bagaimanapun cara hidupnya, dan siapapun kenalannya, yang terpenting adalah tidak berlebih-lebihan. Dalam salah satu kitabnya, Musthafa Al-Ghalayaini pernah menyatakan bahwa sebaik-baiknya perkara adalah tengah-tengahnya (sederahana). Walahu a’lam. [roy]

Kepanjen, Jum’at 8 April 2011. Pukul 07.12 WIB.    

Tuhan, Aku Ingin Bercerita 6#

Pernah suatu hari aku mengirimkan sms kepada teman-teman yang isinya seperti ini: “Keengganan seseorang untuk membeli buku mungkin karena mahalnya harga buku. Secara umum, kita merasa lebih berani membeli kebutuhan lain seperti makanan, pakaian, dan mungkin juga pulsa telepon ketimbang membeli buku. Tingkat ekonomi yang rendah sering menjadi alasan lemahnya daya beli buku. Alhasil, minat membaca jadi rendah. Padahal, dengan membaca kita bisa menjadi seseorang yang lebih “smart”. Aku menemukan catatan itu di lembaran koran bekas bungkus nasi. Lembaran tersebut masih kusimpan bahkan kutempelkan dilembaran pertama di buku catatan harianku. Cukup berkesan memang.
Ternyata catatanku yang kukirimkan via sms itu tidak hanya sebagai motivasi untuk membeli buku, tapi juga dapat kritikan dari salah seorang teman yang memang memiliki daya baca yang cukup berkelas. Seorang teman berkomentar dalam tulisan sms-nya: “Mahal murahnya buku itu tergantung tokonya. Kalo beli di Gramedia ya mahal. Coba beli buku di Wilis (lokasi penjualan buku-buku bekas dan buku-buku tembakan yang terletak di daerah Malang. pen), pasti murah. Bukan harga buku yang mahal yang mempengaruhi minat baca. Tapi lingkungan, didikan orang tua, dan ketertarikan terhadap buku. Itulah yang mempengaruhi. Asal ada niat mau pinter, gratis pun bisa tanpa mengeluarkan uang sama sekali. Yaitu dengan cara meminjam. Sekarang perpustakaan banyak. Tidak ada alasan untuk tidak bisa membaca.”
Cukup menarik untuk diwacanakan. Aku juga tidak bisa memungkiri kritikan dari temanku itu. Bahkan aku juga akan mengamini komentarnya. Bahwa yang dipersoalkan sekarang bukanlah minat beli atau tidaknya, tapi mau baca dan tidaknya-lah yang perlu menjadi perhatian. Sebuah fakta, bahwa kaum pelajar saat ini menurun drastis dalam minat baca. Toh, aku yang tak memiliki hasil penelitian, aku dapat mempertimbangkannya melalui pengalaman-pengalaman yang kulalui, bahkan diri pribadi ini juga dapat dijadikan cermin untuk memperkuat hujjah bahwa memang demikian kenyataannya; menurunnya minat baca dikalangan pelajar.
Di awal-awal kuliah, dalam sebuah seminar yang saat itu diikuti mahasiswa baru UIN Maulana Malik Ibrahim, ada yang mengistilahkan bahwa mahasiswa saat ini lebih suka baca HP dari pada buku yang ada disampingnya. Sekilas memang tak masuh akal, tapi jika diruntutkan kembali maknanya, istilah itu bukan semata asumsi seseorang, tapi memang benar-benar fakta.
Dalam kaitan dunia baca atau forum-forum motivasi yang bertemakan baca membaca, pasti nara sumber takkan luput untuk menyebutkan ayat pertama Al-Qur’an yang diturunkan pertama kali kepada Nabi Muhammad. “Iqra’!!!”, Bacalah!!!. Mengapa tidak sholatlah!!! Atau shodaqahlah!!! Atau juga puasalah!!!. Itulah yang menjadikan ayat Iqra’ sebuah ayat yang telah melahirkan pemikir-pemikir dunia lewat media baca.
Untuk mengakhiri tulisan kali ini, aku tidak akan memberikan tawaran agar pembaca mau membaca buku, sebab, sejatinya, baca itu merupakan perintah Tuhan. Jadi, ya seharusnya membaca itu telah menjadi kebiasaan seseorang. Kalaupun belum terbiasa untuk membaca, paling tidak niatan untuk membudayakan sudah tertanam dalam hati. Ada sebuah kutipan menarik yang pernah kutemukan: “Seorang tokoh Yahudi berkata, “Kami tak akan pernah takut kepada umat Islam, karna mereka tidak memiliki budaya membaca.” [roy]

Al-Faroby 18. Kamis 7 April 2011. Pukul 08.02 WIB

Tuhan, Aku Ingin Bercerita 5#


Benar-benar hari apes. Kemarin, saat berangkat kuliah dari rumah, aku dihadang polisi di perempatan utara rumahku. STNK-ku disita hingga waktu persidangan yang rencananya akan dilaksanakan pada tanggal 15 April nanti. Jengkel dan sebel. Itu yang dapat kurasakan usai menemui polisi yang bodinya lebih kekar dari pada diriku yang kerempeng ini. Padahal, yang dipermasalahkan oleh polisi itu hanyalah kasus lampu motorku yang tak kunyalakan dan spion motor yang kata polisinya tidak standar. “Ah… nyari duit saja polisi ini”, gumamku.
Aku teringat dengan masa laluku. Yaitu saat masih duduk di bangku Tsanawiyah atau yang setara dengan SMP. Aku dan teman-temanku sering ngobrol dan ngerumpi tentang polisi yang waktu itu ada julukan sebagai ‘preman berseragam’. Saat itu, mungkin dapat dikatakan sebagai puncak bermunculan motor-motor modifikasi. Tak mengherankan jika teman-temanku banyak yang hobi ngumpulin foto-foto motor modifan, meskipun tak memiliki motor.
Saat itu, stadion Kanjuruhan yang terletak di kecamatan Kepanjen menjadi lokasi yang pas dan cocok untuk balap sepeda motor. Sering ada obrolan bahwa tiap malam minggu, stadion itu menjadi kerumunan pemuda-pemudi untuk menonton balap liar. Apalagi di bulan puasa, tiap pagi usai sahur,  di stadion Kanjuruhan, kandang kesebelasan AREMA, menjadi lautan manusia muda-mudi dengan berbagai macam atribut. Motor-motor modifan menjadi pemandangan yang indah kala itu.
Tapi sayang, lagi-lagi pemandangan indah itu harus bubar tak karuan saat polisi dengan lampu sirine-nya menyuarakan agar meninggalkan stadion. Tiba-tiba saja amukan knalpot dari motor-motor di stadion itu mengalahkan suara sirine polisi tersebut. Satu persatu motor modifan membubarkan diri dan meninggalkan stadion.
Polisi, ya hanya karna polisi. Padahal polisi juga manusia. Hanya pakaian dan pangkatnya saja yang berbeda. Otak dan nafsunya sama seperti pedagang kaki lima di pinggir-pinggir jalan. Polisi punya kekuasaan dengan gelarnya dan pedagang kaki lima punya keleluasaan dengan semangatnya untuk bisa bertahan hidup.
Ah… polisi. Semakin geram saja pikiran ini mengingatnya. Benar-benar sial hariku kemarin. Aku harus menunggu saat sidang tiba pada tanggal 15 nanti. Pikiran ini tak henti-henti mengusik kata-kata polisi. Sepertinya, ingin kutonjok saja muka polisi itu. Tapi, tetap saja aku akan dicap bersalah dengan berbagai dalil dan undang-undang yang dimilikinya. Meskipun pada kenyataannya aku tak paham dan tidak tahu sama sekali dengan aturan yang ditetapkan oleh polisi negara ini.
 Tuhan… apakah polisi itu malaikat yang Kau utus untuk menegakkan keadilan di pinggiran jalan yang biasanya berkeliaran di penghujung akhir bulan? Atau memang malaikat yang tiap pagi mengatur lalu lintas dengan rompi hijaunya? Tapi, jika polisi itu adalah malaikat, mengapa masih mau disuap? Dengan alasan uang damai, polisi sewenang-wenang meminta uang pada sasaran korbannya. Oh… bukan. Ternyata polisi bukan malaikat. Polisi sama seperti aku dan manusia lainnya yang doyan dengan duit. Untuk itulah, aku lebih memilih di sidang di pengadilan dari pada harus menyuap polisi itu.[roy]
Al-Faroby, 5 April 2011. Pukul 08.21 WIB.

Tuhan, Aku Ingin Bercerita 4#

“Dulu, saat aku masih berumur 8 tahunan, aku pernah beranggapan bahwa mahasiswa itu memang manusia hebat, pintar, cerdas dan lebih dewasa, hingga Soeharto bisa dilengserkan pada tahun ke 32-nya saat menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Tapi, kini, setelah aku menjadi mahasiswa, mengapa anggapanku dulu tak sama dengan realita yang ada?” –cak roy—
Tuhan… aku tak ingin selalu mengeluhkan kisah-kisahku padamu. Tapi kepada siapa lagi aku harus mencurahkan seluruh isi hati selain padamu? Sebab, hanya Kaulah yang tahu segala sesuatu yang akan terjadi dan yang sudah terjadi. Bahkan, Kau mengetahui dengan apa yang akan aku ketikkan sebelum aku mampu merangkai kata-katanya. Maka dari itulah aku lebih suka curhat denganmu.
Tapi, aku juga membuat kata-kata begini: ‘Sebaik-baik terman ngobrol adalah buku dan sebaik-baik teman curhat adalah pena’. Aku bikin sendiri kata-kata itu. Entah, apakah ada atau tidak kata-kata itu sebelum aku membuatnya. Yang jelas, aku merangkai kata-kata itu saat aku mandi sore hari tadi. Dan sebenarnya, aku ingin mengetik kata-kata itu di status facebook-ku. Tapi karna sudah terlanjur kuketik di sini, ya sudahlah. Biar terpajang dirangkaian kalimat dalam tulisanku ini saja.
Sebenarnya, meskipun aku tak menganggap do’a-do’aku sebagai curhatku, otomatis do’a itu terkadang mengandung sari-sari curhat yang memang murni terbentuk dari dalam hati. Tidak dibuat-buat dan tidak pula direncanakan. Tiba-tiba saja hadir dalam lantunan-lantunan do’a dengan iringan suara yang tersendat-sendat. Sesekali tetes air mata mengalir di pipi.
Kali ini, aku akan mencurhatkan kegelisahanku –untuk tidak mengatakan bahwa aku kecewa—sejak aku belajar di Universitas UIN Malang. Ya, sejak aku diterima di kampus hijau tersebut pada bulan Agustus tahun 2010 yang lalu. Aku gelisah dengan keadaan yang tak begitu menggairahkan untuk dijadikan belajar secara serius. Salah satu penyebabnya adalah lingkungannya yang amat minim dengan kegiatan-kegiatan yang pada masa perkembangan Islam diistilahkan dengan halaqah. Yaitu perkumpulan orang-orang untuk berdiskusi atau tukar pikiran.
Tak mengherankan jika kemudian aku harus mempersembahkan kutipan di atas sebagai pembukaan tulisan ini. Memang demikian kenyataan yang kulihat di kampusku. Toh, meskipun aku bukan manusia yang sempurna atau malaikat yang terlepas dari dosa, aku hanya ingin membangkitkan gairah tentang sejatinya mahasiswa sebagai manusia yang dibentuk khusus untuk menjadi orang-orang yang berpengaruh di masyarakatnya kelak.
Aku sangat merindukan suasana kampus yang hidup dengan berbagai diskusi, kajian, seminar atau paling tidak diadakan belajar kelompok, meskipun itu hanya tiga orang. Lebih baik lagi jika ternyata teman satu kelas yang satu jurusan itu dapat menghidupkan gairah keilmuan. Jika memang bisa sedemikian indanya suasana kampus, mungkin aku takkan mengutip tulisan di atas untuk mengawali tulisanku kali ini. Tapi, itu hanyalah impianku belaka. Apalah artinya sebuah konsep jika tak diaplikasikan. Apalah artinya mobil bagus dan mahal jika ujung-ujungnya hanya sebagai pajangan rumah; tak ada manfaat. Tapi impianku untuk menjadikan kampus itu hidup tidak hanya sampai di sini saja. Jika memang tak ada yang menjadikan mimpi-mimpiku –mungkin juga kebanyakan teman-teman seangkatanku—menjadi kenyataan, maka aku sendiri yang akan menjadikan mimpi-mimpiku itu sebagai torehan sejarah. Aku akan menyejarahkan kisah ini dalam lembar-lembar kertas dengan modal api semangat. Hanya itu saja. Dan semoga Tuhan selalu menyertaiku.
Tuhan… sampai sini saja aku bercerita padamu malam ini. Aku ingin terlelap malam ini dengan mimpi-mimpi indah bersama sayap-sayap citaku. Mengantarkanku ke atas tanpa batas untuk meraih sesuatu yang terlepas. Jika ada waktu lain aku akan bercerita kembali padamu dengan cerita-cerita yang lebih menarik. Selamat malam… [roy]
Kepanjen, dalam ruang kamar yang lembab, Ahad 3 April 2011. Pukul 23.38 WIB.

Tuhan, Aku Ingin Bercerita 3#

Ini adalah hari Ahad. Biasanya, aku menghabiskan waktu pagi di stadion Kanjuruhan untuk berolahraga dengan teman-temanku. Sepak bola tentunya. Tapi kali ini tidak. Aku tidak berolahraga dan juga tidak berkumpul dengan teman-temanku. Sebab, hari Ahad kali ini adalah hari Ahad untuk jadwal khotmil Qur’an di mushalla samping rumahku. So, tak ada sepak bola untuk hari ini. Lagi pula, aku juga ngantuk banget pagi ini.

Semalam, sekitar pukul setengah sembilan malam aku keluar rumah. Tapi bukan untuk bermalam mingguan. Aku keluar rumah untuk menyewa kaset CD di rental VCD. Aku menyewa film dengan judul ‘GIE’. Aku berhasrat sekali untuk menontonnya. Film itu memang benar-benar menggugahku untuk terus berkarya. Namun, sayangnya, aku tak seproduktif GIE dengan nama lengkap Soe Hok-gie.

Aku baru tahu informasi film tersebut setelah membaca beberapa lembar buku “Soe Hok-Gie… sekali lagi”. Kebetulan buku itu adalah bukuku yang kubeli pada hari Jum’at  1 April yang lalu. Bukunya tebal. Mungkin, baru bisa aku khatamkan sepekan lagi. Itupun kalau tak sibuk. Kalau sibuk, bisa jadi akan molor hingga dua pekan. Tapi sepertinya tidak. Kali ini aku harus menargetkan untuk menghatamkan buku setebal 534 plus dua cover depan-belakang halaman itu hanya dalam jangga waktu satu pekan. Hari kamis harus khatam.

Gie, ada yang pula yang memanggilnya Soe, adalah mahasiswa Universitas Indonesia yang hidup di masa perguliran Soekarno; dari orde lama ke orde baru yang dipimpin Soeharto. Masa-masa itu adalah masa perubahan besar bagi Indonesia. Banyak tokoh yang lahir di masa itu. Sejarah pahit Indonesia tentang perpolitikan yang serba tak enak lahir di masa itu pula. Tak mengherankan jika kritikan-kritikan Gie dalam beberapa opininya di media cetak mampu mempengaruhi publik hingga kepercaan tentang ke-kritis-annya tak dapat dipandang sebelah mata.

Jika aku dibanding-bandingkan dengan Gie, tentu banyak perbedaan. Baik dari sisi waktu dan tempat. Bahkan, alur jaman sekarang pun juga jauh berbeda. Jika Gie di masanya hidup dengan sekat informasi, maka, aku, di jamanku ini, jauh lebih kompleks dengan informasi. Tapi sayang, dengan kekomplekan tersebut, dengan mudahnya mencari informasi, dan dengan gampangnya mencari link, aku dan juga mahasiswa-mahasiswa jamanku ini justru tertawa indah di atas penderitaan.

Ya, jaman memang berubah. Presiden beberapa kali telah mengalami pergantian. Indonesia sudah dianggap merdeka dari jajahan. Tapi, bekas luka Indonesia masih terlihat dan masih dapat dirasakan sampai saat ini. Jika Gie di jamannya ingin mengobati luka Ibu pertiwi atas nama bangsa dengan menyandang gelar mahasiswa, maka mahasiswa saat ini? Apa jawabannya? Ini adalah pertanyaan. Aku bertanya kepada siapapun yang merasa membaca tulisan ini.

Jika aku menjawab tentang keadaan mahasiswa saat ini yang dibandingkan dengan mahasiswa di masa Gie, aku akan mengatakan bahwa mahasiswa saat ini tak layak menyandang slogan Agent Of Chage. Lalu mahasiswa apa? Mahasiswa yang kerjaannya tidur, tidur dan tidur. Tidak bergerak. Titik.

Namun, bukan berarti mahasiswa Indonesia saat ini loyo. Aku hanya bisa berharap saja, jika aku tidak seperti Gie –dan memang takkan ada yang bisa seperti Gie, sebagaimana Nicholas Saputra, pemeran Gie dalam film Soe Hok-Gie: “Saya bukan Gie. Saya tidak harus dan tidak bisa menjadi Gie, dan tidak seorang pun di dunia ini”—tapi, barang kali ada generasi yang akan muncul jauh lebih hebat dari  pada Gie. Semoga.

Tuhan… aku adalah M. Roihan Rikza –yang kebanyakan teman kampusku memanggil ‘cak roy’—yang ingin bangkit dari tidur panjang. Aku hanya ingin berkarya. Mulutku memang bungkam. Tapi tangan dan pikiranku selalu merasakan kegelisahan. Jika mulut ini dibiarkan berbicara walaupun mata terlelap, maka lisanku akan sering berkata: “Jika Imam Al-Ghazali pernah menyatakan:  Ana afkar idzan ana maujud. Dan Rene Descartes, filusuf abad 16 dikenal dengan CO GETO ERGO SUM-nya, maka aku akan mengatakan pula: AKU MENULIS, MAKA AKU ADA”.[roy]

Kepanjen, di ruang tamu rumah, Ahad 3 April 2011. Pukul 19.36 WIB.


Tuhan, Aku Ingin Bercerita 2#

Semakin sulit saja mempercayai manusia. Ketika aku katakan “tolong jaga ini. ini adalah amanat”, “ini rahasia kita lho. Jangan sampai orang lain tau ya…”, “tolong sampaikan padanya, aku ada perlu dengannya”, dan masih banyak amanat-amanat lain yang pernah kualami, tapi hanya segelintir saja yang dapat menjalankan amanat. Entah, apa yang menjadikan amanat itu tak diindahkan. Apakah ada anggapan bahwa hanya karna sama-sama manusia? Entahlah.


Aku sering mendapat amanat dari rekan-rekan sebaya maupun seangkatan di kampus. Aku berusaha semaksimal mungkin untuk menjalankan amanat dari siapapun, terlebih lagi jika datang dari orang yang lebih kepercayai dan kuhormati. Guru misalnya. Jika ternyata di lain waktu aku gagal menjalankan amanat, bukan berarti aku menghindar. Bisa jadi aku lupa dengan amanat itu. Ya, bisa jadi. Maklum, manusia. Tempat salah dan lupa. Seorang Halim, teman kelasku sejurusan di fakultas Humaniora dan Budaya, pernah berkata: ‘dinamakan insan, sebab manusia memiliki sifat nisyan (pelupa).
Aku jadi ragu-ragu untuk beramanat pada orang lain. Perasaan tak percayaku semakin membabi buta. Jika terus menerus seperti ini, bisa gila diriku ini. seolah dunia ini ingin aku kuasai sendiri. Oh… manusia.
Okelah… sepertinya aku lebih percaya pada Tuhanku. Sebab, aku sering ‘memberi amanat’ dan pasti dijalankan dengan sempurna. Kalaupun tak dijalankan, Tuhanku lebih tahu dengan amanat yang baik dan buruk. Hal ini memang benar-benar terjadi padaku. Saat itu aku ‘memberi amanat’ agar aku dapat duduk bersama di pelaminan dengan seorang yang amat kucintai. Eh, bukannya bisa duduk, tapi malah memutuskan tali cintaku. Perempuan yang kucintai itu ternyata sudah duduk dengan laki-laki lain dipelaminan. Hancur hatiku.
Apakah kemudian aku menyalahkan dan menuntut Tuhan? Tidak. Aku tidak menyalahkan dan menuntut Tuhan. Tuhanku Maha Adil kok. Tapi aku bertanya pada Tuhanku: “Mengapa Kau singkirkan cintaku, wahai Tuhanku…?” Tapi tak ada jawaban langsung dari Tuhanku seperti dalam film nabi Musa; tatkala nabi Musa bertanya, Tuhan langsung menjawab dari langit. Ya, kuakui memang, aku manusia biasa. Tak ada kelebihan apapun. Aku hanya mampu berusaha dan Tuhanlah yang menentukan semua apa yang akan kujalani.
Di lain waktu, jawaban yang amat membuat diriku bahagia datang dari seoramg teman sekolah Tsanawiyah yang kebetulan bertemu dalam satu kesempatan. Kukisahkan padanya tentang nasib yang hampir menjadikan tubuhku tinggal tulang belulang. Aku sangat terkejut ketika teman perempuanku itu berkata: “Kamu tahu Gak mengapa Tuhan tidak mempertemukanmu dengan seseorang yang amat kamu cintai itu?”
“Ndak,” jawabku sambil mengeleng-gelengkan kepala.
“Tuhan akan memberikan yang lebih baik dari pada perempuan yang kamu idamkan itu.” Kata temanku dengan suara yang semakin mengecil seraya mendekatkan wajahnya kehadapan bola mataku.
Aku terdiam usai mendengar kata-katanya yang menyentuh hati. Pikiranku mulai normal. Bahkan sepertinya lebih ganas. Tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan dalam pikiranku. Kenapa baru sadar kali ini bahwa Tuhan akan memberikan yang lebih baik? Bukankan masih banyak perempuan yang lebih baik di dunia ini? Bukankah Tuhan akan memberikan yang terbaik dari apa yang dianggap ‘baik’ oleh makhluknya? Mengapa aku kalah oleh perasaan cinta yang hanya didominasi oleh hati? Bukankah aku adalah lelaki yang cenderung merasionalkan dan juga melogikan problematika? Tapi mengapa kalah dengan cinta? Apakah ini salah satu kelemahanku?
Tuhan… Sudah saatnya aku bangkit dari fenomena ini. Aku tak ingin berlama-lama dengan perasaan yang tak berujung ini. Aku ingin menata kembali serpihan cita-cita yang hancur oleh ‘bom’ CINTA. Tuhan… Tolong jangan Kau kirimkan lagi bom-bom yang sama sampai aku benar-benar mencapai cita-citaku yang masih buram.
Tuhan… Aku hanya ingin menyampaikan ini kepadamu. Sebab, saat ini, tak ada lagi manusia yang dapat kuamanati. Manusia di era ‘edan’ ini lebih suka mengamanati dari pada diamanati. Lebih baik ‘mengamanatimu’, wahai Tuhanku. Karna Kau lebih mengerti dan paham dengan amanat-amanat yang kuinginkan.[roy]
Malang, Jum’at 1 April 2011 Pukul 11.17 WIB. Dalam ruang kuliah dan saat kuliah. –karna aku ingin berkarya--

Tuhan, Aku Ingin Bercerita 1#

Pagi ini aku masih seperti pagi-pagi sebelumnya. Tak ada perubahan. Masih tetap ‘aku’ yang ngantuk-an. Tapi ada yang terasa aneh pagi ini. Sepertinya aku mulai bosan dengan hidup ini. Padahal aku sudah berulang kali mengadu kepada Tuhan tentang segala gundah hatiku selama ini. Lima kali dalam sehari. Tapi tak ada tambahan dan perubahan.

            Tuhan… dalam do’aku kali ini, aku berharap engkau akan menunjukkanku jodohku yang terbaik. Selama ini, aku hanya mengalami fatamorgana yang tak berujung. Aku tak tahu apakah fatamorgana itu adalah memang takdirku dari-mu atau memang aku-nya saja yang tak sadar bahwa selama ini aku berada dilingkaran fatamorgana? Kumohon, berikanlah petunjuk-mu dengan sebaik-baiknya petunjuk.

            Sesekali aku mengucapkan do’a itu tatkala Tuhan memang benar-benar terasa dekat di hadapanku. Sesekali aku menangis di hadapan-nya. Tapi aku tak pernah malu untuk meminta pada-nya. Padahal, terkadang, bahkan sering pula, saat Tuhanku memerintah, aku acuh dan apatis dengan perintahnya.

            Tapi begitulah Tuhanku. Tak pernah mengeluhkan dengan apa yang kulanggar. Bahkan, saat aku melakukan pelanggaran terang-terangan dihadapan-nya, Tuhan tidak langsung memukulku. Tak pula menegurku, bahkan tidak bosan memberikan senyum kapadaku. Aku malu.

            Tuhan… kali ini aku ingin bercerita. Kemarin aku melihat sosok mengagumkan yang sepertinya dialah jodohku yang selama ini kucari-cari. Apa aku perlu PDKT dengannya sebagai ikhtiarku? Atau mungkin Engkau akan langsung menjawabnya bahwa dia memang benar-benar jodohku? Waktu melihatnya, dia hanya terdiam melihatku. Aku salah tingkah. Tiba-tiba saja aku mengambil HP dicelanaku yang kemudian sibuk menelpon seperti pejabat yang ditelepon oleh fans-fansnya. Padahal, aku hanya berusaha untuk mengalihkan perhatianku padanya.

            Tuhan… kali ini aku benar-benar tak kuasa membendung panas hati ini. Kepalaku sering mengalami pusing yang sama sekali tak dapat diredakan oleh obat-obat dari dokter. Orang menganggapku gila. Aku tak ingin semua ini terjadi padaku. Tolong aku Tuhan…

            Wahai anak cucu Adam… berulang kali aku memberikan padamu yang terbaik, tapi kau menghiraukannya.  Seringkali kuberikan kau kesempatan, tapi kau tak menggunakannya. Aku tak marah. Tak sedikitpun sakit hati. Ingatlah, hidupmu hanya sekali. Mati satu kali. Dan untuk cinta juga satu kali. Jangan kau jadikan cinta itu dua, tiga, atau empat. Meskipun kau dapat mengumpulkan empat serpihan tulang rusukmu, tapi kau tak dapat membagi cintamu. Ingat baik-baik hal itu.

            Okelah. Aku akan mencobanya. [roy]



            Al-Faroby 18. Kamis 31 Maret 2011 Pukul 08.16.