Rabu, 01 Juni 2011

Andai Aku SBY

Ada yang menarik untuk menjadi perhatian publik hari ini. Mungkin juga beberapa hari terakhir. Namun, yang baru kuketahui keunikannya adalah kemarin sore saat aku menonton acara televisi di TV ONE. Sekitar pukul 17.10, TV ONE menayangkan klip-klip Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat marah, jengkel dan kecewa bahkan menantang, dalam beberapa pertemuan pejabat yang ditayangkan secara vulgar. Entah apa tujuannya. Yang jelas, TV ONE itu punya Abu Rizal Bakrie. Entah disengaja untuk mencoreng nama baik SBY atau hanya iseng-isengan bahan tontonan, aku tak paham. Paling tidak, aku mengerti bagaimana kondisi Presidenku. Bahwa Presiden juga manusia.
Berdosa, salah, malu kepada rakyat”, kata SBY menegur pejabat yang tidur di ruang diskusi. Tidak hanya itu saja. SBY mungkin sudah muak dengan kondisi Bangsanya yang seolah tak ada perubahan. Lebih-lebih melihat pejabat pemerintah yang sepertinya tak memiliki keseriusan dalam mengentaskan Bangsa dari kemisikinan yang kian membengkak, korupsi yang semakin mengakar, pendidikan yang carut marut, ekonomi yang tidak stabil, dan banyak hal lain yang menjadi ‘garapan’ pemerintah, namun belum ada kepastian kapan semua problematika bangsa ini akan tuntas.
Setelah kupikir-pikir, menjadi Presiden Indonesia itu amat susah dan sulit untuk mengatur Bangsanya. Lebih sulit lagi jika bawahan dalam pemerintahannya sama sekali tidak memperhatikan nasib dan memperjuangkan masa depan arah Bangsa Indonesia. Apa karna semua ini adalah watak dan wajah pemerintahan Indonesia yang bisa dimaklumi? Tentu tidak. Pemerintah selaku perwakilan dari rakyat seharusnya memberikan jalan mulus untuk kesejahteraan rakyatnya. Namun, sampai saat ini, pemerintah masih memikirkan nasib dirinya sendiri, untuk perutnya sendiri dan lebih mengutamakan kesejahteraan keluarganya masing-masing dari pada membahagiakan orang-orang miskin yang makan tidur di bawah kolong jembatan. Ini adalah kenyataan.
Kejengkelan SBY kali ini tidak hanya karna ulah pejabat-pejabat bawahannya, tapi juga ulah seseorang yang meneror SBY lewat sms ‘fitnah’ dari Singapura. Sms tersebut, sebagaimana yang diberitakan KOMPAS yang kubaca hari ini (Selasa, 31 Mei 2011) dituduhkan kiriman dari Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Demokrat yang saat ini berada di Singapura. Namun, Nazaruddin membantah banhwa ia tidak mengirimkan sms yang mencantumkan ancaman akan dibukanya berbagai kasus terkait politisi Partai Demokrat, termasuk kasus Bank Century. (KOMPAS, Selasa 31 Mei 2011)
Ugh… Presiden Presiden. Betapa beratnya menjadi pemimpin negeri ini. Andai aku SBY, mungkin aku sudah gila karna memikirkan ini itu yang tak kunjung reda. Mati satu tumbuh seribu, seperti itulah gambaran fenomena negeri ini. Tidak hanya berkutat pada gejala alam yang berulang kali menimpa bumi pertiwi ini, tapi pergantian kasus-kasus bobrok yang dilakukan pejabat –mulai dari korupsi, pertengkaran dalam ruang pertemuan antar pejabat, baik kelas teri sampai kelas hiu, sampai pada kasus tidurnya pejabat saat bekerja untuk rakyat—mewarnai negeri yang dulunya pernha memiliki julukan zamrud khatulistiwa ini.
Tapi memang itulah resiko dan tantangan Presiden yang tak bisa dihindari, ditolak dan ditawar semena-mena oleh seseorang yang sudah dipercayai dan diamanati rakyatnya untuk memimpin bangsa ini. Sebenarnya, fitnah, ancaman, teror, sakit hati, lelah, lesu, capai, jengkel, kecewa, bahagia, sampai curhat Presiden dihadapan rakyatnya, itu juga pernah dialami lima Presiden sebelum SBY. Bisa juga semua itu dialami oleh Presiden-presiden di luar Nusantara. Hanya saja, cara mengatasinya yang berbeda-beda.
Untuk itulah patut kiranya jika penulis menampilkan pernyataan dari Bung Karno yang tertulis dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi bahwa dalam menanggapi masalah itu, “Kita harus bicara dan bekerja”. Wallahul Musta’an. [roy]
Selesai diketik pada hari Selasa malam Rabu 31 Mei 2011. Pukul 21.53 WIB—sambil menonton Pesantern Rock ‘N Roll.

Antara Otak dan Hati

Hati, apa yang kau rasakan saat ini, aku juga merasakannnya. Masihkah kau akan menutup-nutupi semua kisah-kisahmu itu?”, tegur Otak yang mulai gelisah melihat kelakuan Hati yang semakin tak jelas.
Tidak kok. Biasa aja tuch. Kamunya aja yang selalu mencurigaiku. Iya khan?”, Hati mencoba mengelak.
Masihkah aku akan bertanya pada saudara-saudara kita tentang dirimu? Apa perlu kuwawancarai satu persatu mulai dari saudara seperjuangan kita Ujung Rambut sampai Ujung Kaki agar tau jawaban yang sebenarnya? Ayolah, curahkan saja masalahmu itu kepadaku. Bukankah aku saudaramu yang akan membantumu jika kamu terjebak dalam kesulitan?”
Oke oke….”
Belum selesai menjelaskan, Otak langsung meledeki Hati.
Kamu sedang kasmaran pada seseorang khan…. Hayo ngaku… Iya khan?”
Iya”, jawab Hati dengan malu.
Tak usah kau malu-malu padaku. Aku ini saudaramu. Jangan kau tutup-tutupi penderitaanmu itu. Jika kau sakit, aku juga merasakan sakitmu. Buat apa kau simpan penderitaanmu itu. Aku akan selalu memotivasimu kok wahai saudaraku”
Aku gagal dalam bercinta. Dari dulu aku mencoba untuk bercinta dengan baik. Ketika aku mencintai seseorang, aku yakin bahwa cintaku adalah cinta yang tulus. Aku ingin menjaga cintaku itu sampai pada cinta yang suci. Tapi semua itu hanya fatamorgana saja. Semua cintaku seakan hanyalah kesia-siaan belaka. Tak ada yang benar. Aku pun merasa tak pantas dicintai dan mencintai. Apalagi yang terakhir kali ini. Sepertinya, Aku lebih baik mati saja dari pada hidupku selalu diabaikan oleh cinta. Cinta yang kuanggap penutup dari cinta-cinta sebelumnya ini memang sangat spesial. Pengorbananku sangat banyak dalam memperjuangkannya. Tapi, cinta itu tak bertahan sampai lama. Sebab, aku terlukai. Aku tak tahan dengan semua ini. Mati sajalah aku”
Ah… kau ini. Gitu saja sudah berputus asa. Mana kejantananmu. Baru seperti itu saja kau mengeluh. Hidupmu itu masih panjang. Umur kita dalam keluarga ini masih muda kok. Mengapa begitu pendeknya kau memahami perasaanmu? Apalagi kita hidup dalam keluarga yang bergaris laki-laki. Sebagai Otak, aku tak setuju dengan perasan-peraanmu yang kerdil itu. Apalagi sampai mau mati segala, apa lah itu! Tak menunjukkan sifat ke-gentel-anmu”
Bukan gitu maksudku….”
Lalu apalagi? Sudahlah… aku paham. Aku tau kok. Aku mengerti dengan apa yang kau rasakan saat ini. Tapi cobalah kau renungi kembali sejarah cintamu itu. Ayo bangkit! Janganlah kau terus menerus terlena dengan hal-hal yang tak jelas itu. Pandanglah masa depanmu dengan penuh keyakinan bahwa kelak kau akan menjadi mesin tuan laki-laki yang menjadikannya orang besar. Kau juga paham dengan apa yang diimpikan oleh tuan laki-laki khan?”
Iya, aku mengerti bahwa tuan laki-laki itu tak mudah menyerah. Tuan laki-laki sering menghampiriku dengan membawa lembaran-lembaran masalah cinta kepadaku. Tapi tak jarang pula tuan laki-laki datang untuk menanyakan cita-citanya yang agung. Tuan laki-laki ingin sekali menjadi orang yang besar. Surat-surat tuan juga masih kusimpan dengan baik tentang tulisannya yang seakan mendewakan pengalaman pahitnya dalam berjuang melawan musuhnya yang bernama nafsu. Aku terharu membaca tulisan tuan saat berperang melawan nafsu yang sulit sekali dikalahkan. Aku kagum kepada tuan”
Kau ini sudah paham, tapi kok masih plin-plan gitu sich… Wahai saudaraku, selama aku masih hidup dalam kesederhanaan seperti yang kau lihat saat ini, aku tetap akan memantaumu. Aku takkan pernah lelah untuk mengingatkanmu. Aku adalah saudaramu. Ingat itu”
Baiklah Otak. Terima kasih atas saran-saranmu. Aku akan bangkit kembali untuk membantu tuan agar tetap menjaga semangatnya yang tak pernah berhenti membakar Jiwa. Ingatkan aku ya kalau aku tersesat di persimpang jalan”
Oke”

Selesai diketik pada hari Rabo, 25 Mei 2011. Pukul 23.00.
Saat mulai terkelikili mata ini di kedinginan yang membara, aku hanya mampu berujar: “Menulislah apa yang ingin kau tulis. Jangan kau tulis apa yang tidak ingin kau tulis!”

Perintah Olahraga

Sore hari, seperti biasa, sepulang dari Program Khusus Pengembangan Bahasa Arab (PKPBA), aku tak langsung pulang ke kamar. Aku mampir dulu ke masjid Tarbiyah untuk melaksanakan shalat Ashar berjama’ah. Ketika aku sedang memingkis celanaku di pinggiran kolam, tiba-tiba temanku muncul dari tempat wudhu’. Dia menghampiriku sambil mengusap-usap wajahnya yang masih basah oleh air wudhu’nya.
“I love her, her, her… Her artinya kuda khan? Hehehe”, sapa dan godaku pada Fatih, temanku di kelas PKPBA. Agak konyol, memang, tiba-tiba saja aku mengatakan hal itu padanya. Tapi Fatih mengerti dengan maksud ucapanku itu. Kontan saja dia tertawa kecil.
“Ah… kamu ini ada-ada saja”, katanya sambil membenahi lengan baju yang dipingkisnya.
“Tapi mantap khan?”
“Ya iya lah. Bidadari mana yang gak diidam-idamkan cowok?”
“Apalagi kamu. Kamu tergila-gila khan ama dia?”
Yah… begitulah perbincangan dengan teman cowokku di kampus hijau ini. Tiap kali ada halaqoh yang didominasi oleh kaum Adam, pasti takkan lepas dari pembicaraan sosok wanita idaman. Masing-masing berhak mengungkapkan isi hatinya tanpa ada sekat apapun yang menghalangi pembicaraan. Hal itu sudah dianggap wajar. Tak luput pula sore itu, ketika aku bertemu dengan Fatih di masjid Tarbiyah. Jika aku bersama Fatih, pasti yang akan dibahas dalam perbincangan adalah sosok Adawiyah.
Adawiyah, adalah perempuan yang cantiknya bikin cowok manapun akan terkesima saat melihatnya. Aku pun tak dapat memungkiri hal itu. Hanya saja, aku lebih memilih diam. Kadang hanya ikut-ikutan saja. Lain halnya dengan Fatih, mungkin dia memang tergila-gila atau disetting kayak orang gila demi menutup-nutupi kecerdasannya. Meskipun dianggap seperti orang gila, Fatih memiliki kelebihan dibandingkan diriku ini. Dia hâfidul Qur’an. Entah berapa juz yang dihafalnya. Gosib-gosib yang berkembang sich dia hafal 30 juz. Tapi yang jelas, dia lebih baik dari pada aku. Aku, surat-surat dalam juz Amma-pun hanya beberapa saja yang kuhafalkan. Itupun terkadang tak lancar.
Pertemuan di sore itu, bagiku, merupakan pertemuan yang agak berbeda dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Sambil merapikan bajunya, Fatih menjelaskan padaku tentang keterangan ceramah yang tadi siang dia dengarkan dari Pak Imam Suprayogo, rektor UIN Malang, saat mengisi kultum (kuliah tujuh menit) di mimbar masjid Tarbiyah. Fatih menjelaskan dari apa yang dia dengar bahwa perintah olahraga yang dianjurkan oleh Rasulullah ada tiga macam. Dari ketiganya itu tidak hanya berdampak positif pada jasmani saja, tapi rohani-pun dapat merasakan efeknya dengan cara perenungan sebagaimana yang disampaikan oleh Pak Imam. Ketiga perintah olahraga yang dianjurkan Nabi Muhammad adalah: berenang, berpacu kuda dan memanah. Sekilas dari pemahaman yang disampaikan oleh Fatih yang didapat dari Pak Imam kucuba paparkan dengan bahasa tulisanku.
Pertama, adalah perintah untuk mengajarkan kepada anak agar bisa berenang. Kalo direnungkan sich… berenang adalah upaya agar seseorang tidak tenggelam dalam air. Seseorang yang berenang diharuskan untuk melakukan gerakan-gerakan agar tak tenggelam. Berenang berupaya keras agar tubuh selalu berada dipermukaan air dan mengharuskan kepada sang hidung agar tetap bisa bernafas. Dengan demikian, jika diperumpamakan pada kehidupan manusia, maka seseorang harus hidup dengan bekerja. Tidak diam. Jika diam, sama halnya dengan mayat.
Sangatlah tepat apa yang sering disampaikan oleh Ustadz Jaiz Kumkelo dengan mengutip pernyataan Ibnu Sina bahwa “Alhayâtu Harakatun” yang berarti: “kehidupan itu (harus.pen) dinamis”. Seringkali, bahkan bisa jadi setiap kali aku mendapat ceramah dan motivasi dari Ustadz Jaiz, beliau pasti akan mengutip ungkapan “Alhayâtu Harakatun”-nya Ibnu Sina itu. Memang seharusnya seperti itulah manusia yang tak boleh berdiam diri. Harus melakukan hal-hal yang negatif agar menjadi insan kamil; manusia yang sempurna, toh pada kenyataannya tak ada manusia sempurna kecuali manusia pilihan Allah swt. ; Almusthafa; Nabi Muhammad saw.
Kedua, perintah untuk mengajari seorang anak agar bisa belajar berpacu kuda. Perintah itu tidak hanya sebagai anjuran agar berbalapan dengan menunggangi kuda yang saat ini telah diselewengkan sebagai pabrik perjudian. Akhirnya, yang mulanya diorientasikan sebagai sarana berolahraga, kini berganti sebagai ladang uang yang tidak halal. Padahal, jika direnungkan, sebagaimana temanku menyampaikan kepadaku yang didengarnya dari Pak Imam, arti pacuan kuda tidak hanya ditujukan pada balapannya saja tapi juga dapat dilihat dari karakter kuda itu sendiri.
Kuda adalah hewan tercepat yang memiliki perbedaan jauh dari pada bebek. Fatih mencontohkan, sebagaimana yang ia dengar dari penuturan Pak Imam, bahwa bebek itu memiliki ketaatan yang tinggi kepada tuannya. Bebek juga sangat mudah diperintah oleh si pemiliknya. Cukup dengan bambu panjang yang kira-kira panjangnya tiga meter, berbentuk seperti alat gagang pancing, agak melengkung yang ujungnya diberi kresek, bebek akan mengikuti kata sandi dari gerakan kresek itu. Saat bebek-bebek mandi di sungai, si pemilik tidak perlu menjaga di pinggir sungai agar tidak kabur. Sang pemilik juga tidak usah repot-repot menunggu sampai bebek itu wangi. Tancapkan saja gagang bambu itu di tanah di pinggiran sungai, bebek tidak akan pergi kemana-mana selain menikmati segarnya air sungai. Walaupun seharian ditinggal pulang untuk tidur oleh sang tuan, bebek tetap tidak akan pergi kemana-mana. Itulah bebek. Tak repot untuk mengurusnya.
Lain halnya dengan kuda jika disuruh mandi. Padahal, ritual mandi sejatinya adalah agar tubuh menjadi sehat, tidak kotor, bebas penyakit dan menjadikan tubuh lebih bersih. Tapi, untuk hewan yang sering digambarkan sebagai contoh pria yang kuat ini, sangat sulit sekali untuk diperintah menceburkan ke sungai. Jika si pemiliki kuda ingin memandikan kudanya, maka si pemilik kuda harus terlebih dahulu menceburkan diri ke sungai, baru kuda ditarik dari arah sungai. Lain halnya dengan kisah bebek di atas. Si pemilik cukup memerintah dengan ‘tongkat ajaibnnya’, maka bebek akan langsung menceburkan dirinya ke dalam sungai.
Dari perbedaan antara kuda dan bebek, tentu dapat ditarik kesimpulan bahwa kuda itu hewan yang sulit diatur. Sedangkan bebek adalah hewan yang taat kepada segala perintah yang dikehendaki oleh tuannya. Dari perbedaan kedua hewan tersebut, jika digambarkan kepada manusia, tentu kuda-lah yang cenderung menjadi sifat manusia. Tidak mudah diatur. Jika diatur, manusia terkadang masih menunggu contoh terlebih dahulu pada yang memerintah. Ya, sebagaimana contoh kuda tadi. Ketika akan dimandikan, maka tuan pemilik kuda harus menceburkan diri terlebih dahulu sebagai perumpamaan teladan atau contoh. Baru kuda akan mengikuti apa yang dikehendaki tuan. Begitu pula dengan manusia.
Perenungan ini, jika digambarkan kepada aktifitas akademis. Dengan demikian, maka dosen harus mencotohkan terlebih dahulu sebelum memerintah terhadap mahasiswanya. Jika dosen menginginkan mahasiswanya agar mampu menjadi penulis produktif, maka dosen tersebut tidak boleh tidak harus memiliki banyak karya tulis sebagai percontohan dan teladan yang dapat dijadikan motivasi bagi mahasiswanya.
Seperti itulah kira-kira perenungan yang dapat ditarik benang merahnya dari perintah berpacu kuda. Perintah itu bukan hanya sekedar untuk mengolahragakan badan saja, tapi juga ada kaitannya dengan kondisi batin yang juga harus di-olahraga-kan.
Ketiga, adalah perintah memanah. Memanah, jika aku boleh memaknainya, adalah perbuatan atau tindakan untuk memfokuskan anak panah yang akan diluncurkan dari busur pada satu titik tertentu. Aku tak tau siapa orang yang pertama kali membuat panah. Bangsa mana? Suku apa? Berasal dari kata apa? Aku tak tau semua itu. Yang kuketahui tentang panah hanyalah sebagai alat perang sebelum munculnya tembak dan alat pemburu hewan di hutan di zaman klasik. Untuk saat ini, sepertinya, panah hanya digunakan oleh orang-orang tradisional yang tinggal dipedalaman, toh tak dapat dipungkiri bahwa bedil, pistol, granat atau alat tembak lainnya juga telah memasuki kawasan pedalaman tersebut.
Tapi hal ini tidak menafikan bahwa di kota tidak ada panah. Panah, di kota menjadi semacam alat olahraga layaknya alat-alat berat lainnya. Saat aku masih duduk di bangku Tsanawiyah atau yang disetarakan dengan tingkat SMP, aku pernah mengikuti saudaraku yang ikut dalam pelatihan memanah. Waktu itu aku sedang berada di Lampung. Aku juga sempat mencoba alat yang mirip tongkat penggembala itu. Meskipun hanya pertama –dan mungkin juga yang terakhir—kalinya aku memegang busur dan anak panah, aku menganggap memanah adalah hal yang rumit. Tidak segampang obralan kata-kata yang ‘sok bisa’. Sebab, memanah harus benar-benar berkonsentrasi agar dapat mengarahkan anak panahnya pada titik sasaran.
Itu baru latihan memanah. Belum lagi jika dipraktekan ke dunia nyata. Misalnya saat memburu di hutan. Jika anak panah tidak menganai sasaran, tentu anak panah akan kehilangan arah, tak terkendali dan pada akhirnya akan hilang. Yang lebih berbahaya lagi jika ternyata dianggap sebagai ‘pluru nyasar’. Maka akan ada korban nyawa yang direnggut. Inilah sulitnya memanah.
Dari penggambaraan seperti ini, perenungan dari Pak Imam yang disampaikan oleh Fatih, bahwa memanah itu dapat digambarkan pada jurusan masing-masing mahasiswa atau dosen yang mumpuni bidang tertentu. Harus fokus pada satu bidang tertentu agar titik temu kesuksesan dapat diraih. Maka, bagi dosen atau mahasiswa yang berada di saintek, misalnya, harus berusaha keras agar apa yang menjadi tujuan dan impian fakultas pilihannya terjamin kesuksesannnya.
Dengan demikian, mahasiswa sebagai calon intelektual di masa mendatang diharapkan mampu memumpuni apa yang menjadi target belajar di fakultas masing-masing. Aku tak tahu apa jadinya jika di tahun 2020 kelak di Indonesia akan muncul ribuan pemikir bangsa dari latar belakang keilmuan masing-masing mahasiswa yang saat ini berproses menuntut ilmu di bidang yang dimumpuninya. Mungkin impian Indonesia akan benar-benar tercapai. Harapan tinggal harapan. Yang dipertanyakan saat ini hanyalah siapa yang mau dan mampu untuk kejayaan negerinya? Semoga impian dengan kaitannya perenungan Pak Imam –dengan keterbatasan bahasa dan susunan yang kumiliki sehingga tercipta tulisan ini—benar-benar impian di alam sadar dan akan nyata di alam nyata. Amin…
Untuk mengakhiri tulisan ini, penulis hanya ingin menutup dengan ungkapan arab bahwa “Syubbanul yaum rijalul ghod” (pemuda saat ini adalah pemimpin di masa mendatang). Wallahu A’lam.

Tulisan ini pertama kali diketik pada dari Selasa 24 Februari 2011 pukul 17.22 WIB. Tulisan ini terhenti hingga baru bisa diselesaikan pada hari Selasa 12 April 2011 pada jam 13.21 WIB.