Selasa, 08 November 2011

3 Buku, 3 Renungan dan 3 Obsesi


Usai perjalanan pulang dari kampus, aku tak langsung tidur seperti hari-hari sebelumnya karna kecapaian. Aku mencoba kembali menggairahkan semangat membacaku. Setelah beberapa waktu malas membaca, kali ini aku mencoba mendekati buku-buku yang kumiliki. Kusempatkan diriku untuk membaca sebuah novel dwilogi Padang Bulan karya Andrea Hirata yang berdiam manis di atas kasur kamarku. Sebuah novel bolak-balik dengan dua judul (Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas) yang kubeli pada hari Kamis, malam Jum’at tanggal 29 September 2011 di Wilis.
Aku hanya membaca satu bab awal dengan judul Lelaki Penyayang dari judul buku Padang Bulan – sedangkan judul buku Cinta di Dalam Gelas sudah lunas kubaca seluruhnya. Dalam satu bab tersebut ada kata-kata yang kuberi tanda sebagai salah satu kata pilihan yang cukup mengusik hati, menurutku. “Semua taktik yang merugikan diri sendiri itu, jika boleh disebut dengan satu kata, itulah cinta”, tulis Andrea Hirata yang mengisahkan tentang kasus awal percintaan antara Zamzami dan Syalimah.
Bagian lain pada bab awal, Hirata menggambarkan Syalimah sebagai sosok perempuan yang sangat beruntung sekali mendapatkan suami Zamzami yang penyayang terhadap keluarga. Untuk itulah kemudian Syalimah mau menikah dengan Zamzami mekipun tak ada yang dapat diharapkan dari seorang Zamzami. Bagi Syalimah, keberadaan Zamzami itu sendirilah yang amat berharga dalam kehidupannya. “Sejak mengenal Zamzami, Syalimah tahu ia akan bahagia hidup bersama lelaki itu, meski ia juga mafhum, ada satu hal yang harus selalu ia hindari: minta dibelikan apa pun. Sebab lelaki baik yang dicintainya itu hanyalah lelaki miskin yang berasal dati keluarga pendulang timah”.
Buku lain yang turut kubaca siang itu adalah karya Mohammad Fauzil Adhim dengan judul Indahnya Pernikahan Dini. Buku tersebut baru kubeli pada hari Senin malam Selasa tanggal 31 Oktober 2011 di Matos yang kebetulan sedang obral buku. Tentu saja buku itu, sebelum dibaca, dapat dipahami tentang isi di dalamnya. Aku hanya ingin melanjutkan bacaan pada bab pertama yang tadi pagi sudah kubaca separuh lebih, tapi belum sampai tuntas.
Pada bab pertama yang berjudul Nikah Dini? Mengapa Tidak? Ada satu catatan yang kutandai dengan warna kuning terang: “Demikianlah, kecuali jika Anda sendiri sampai hari ini lebih suka membanggakan apa yang diraih orang tua, bukan apa yang Anda usahakan. Ini karena seperti kata Sayyidina Ali karramallahu wajhahu, “Bukan pemuda, mereka yang berkata inilah bapak saya. Akan tetapi, sesungguhnya pamuda adalah yang berkata, ‘Inilah dadaku’ (Laisa fataa man yaquulu kaana abi, wa innamal fataa man yaquulu ha ana dza).” Sebuah pernyataan yang menggambarkan kehidupan masa muda dengan melatih untuk mandiri tanpa menggantungkan kepada orang tua, utamanya untuk lelaki.
Setelah bab pertama selesai kubaca, lalu kuloncati pada pembahasan pada bab lain yang judulnya kulihat di daftar isi buku tersebut. Ada satu judul menarik yang kubaca dan kemudian kulanjutkan dengan membaca isinya. Lebih dari Sekedar Cinta, Ada Alasan yang Lebih Tinggi untuk Menikah, begitu judul yang mengusik benak pikiranku untuk membacanya, namun tak seperti yang kubayangkan. Isinya tak seperti yang kuharapkan.
Namun, pada ulasan dalam judul yang kubaca tersebut, ada yang patut digaris bawahi bahwa seseorang yang menjalin hubungan cinta atas dasar ketertarikan fisik dan dorongan seksual –atau disebut infatuation kata Robert J. Stemberg dalam penelitiannya—maka cinta semacam ini tidak disertai kemesraan dan komitmen. “Inilah cinta pada pandangan pertama”, kata Papalia dan Olds. Selanjutnya, Adhim menjelaskan “Apa yang dibayangkan oleh mereka yang sedang mabuk cinta karena pandangan pertama sebagai kemesraan bukanlah kemesraan, melainkan erotisme. Cinta semacam ini mudah menyala dan mudah padamnya.” Itu hanya salah satu model cinta. Masih ada lagi ulasan lain tentang model-model cinta dari hasil riset para psikolog.
Buku terakhir yang kubaca adalah buku catatan harian seorang Ahmad Wahib yang berjudul Pergolakan Pemikiran Islam. Buku tersebut kubeli di Togamas, Dieng, pada hari Kamis malam Jum’at 3 November 2011 seharga tiga puluh empat ribu rupiah. Itulah buku terbaruku saat ini. Sebuah buku dan nama penulisnya, kukenali sekitar 5 bulan yang lalu dari kata pengantar buku Catatan Seorang Demonstran –berisi tentang catatan harian aktivis kampus, Soe Hok Gie, tahun 1965.
Buku catatan harian Ahmad Wahib ini, diantara isinya, merefleksikan gejolak pikirannya tentang relevansi Islam masa kini dengan mengkaitkannya pada sejarah Nabi Muhammad saw mencakup budaya, teologi, fiqh, politik, dan kenegaraan. Sebuah pemikiran yang akan menggerogoti otak sampai-sampai akan menimbulkan rasa sakit dalam isi kepala itu jika saja tak kuat menahan kegelisahan untuk segera menemukan jawaban-jawaban yang benar-benar masuk akal.
Namun, seperti pemuda pada umumnya, Ahmad Wahib tidak hanya terserang semacam ‘skizofrenia1 Islam’ saja, dia juga mengalami kegundahan hati tentang seorang perempuan yang dicintainya. Salah satu judul tulisan Tentang Dia yang Kucintai berisikan tentang keinginannya untuk hidup bersama dengan kekasihnya, namun Wahib masih dibebani keragua-raguan tentang kesanggupan memenuhi tanggung jawab yang harus diembannya. “Hatiku selalu diliputi keragu-raguan. Ragu-ragu antara dorongan ingin memadu hidup bersamanya dengan perasaan kuatir akan kemampuan diri bisa memberikan kebahagiaan kepadanya. Aku ragu-ragu setelah memawas diriku sendiri. Apalagi bila aku melihat pemuda-pemuda yang pernah mendekatinya dan gagal. Mereka adalah orang-orang yang lahiriah-batiniah, luar dan dalam, jauh melebihi aku. Lihatlah tampannya, cara-cara bergaulnya, ketaatan beragamanya, akhlaknya, apalagi kekayaannya. Dalam masalah terakhir ini sebetulnya kalau aku hendak seperti pemuda-pemuda lain, kiranya tak akan begitu sukar.”
Seperti itulah aku menarik benang merah dalam pembacaanku kali ini. Ada satu kesimpulan tersendiri dalam tiap bacaanku. Mungkin juga pembaca tulisan ini yang juga akan menarik pemahaman tertentu dari hasil rekayasa tulisan ini. Namun, tiada maksud untuk mengompori kelompok tertentu atau individu secara khusus. Hanya inilah kemampuanku dalam menghadirkan karya tulis pada kesempatanku kali ini.
Hanya Sebuah Mimpi
Sambil sesekali kubaca buku-buku yang telah disebutkan di atas dan buku-buku lainnya yang berserakan di kamarku, aku mencoba merenungi hasil pemikiran para penulis buku. Betapa banyak ilmu yang kuserap tiap kali membaca buku. Namun, diri ini masih saja merasa kurang puas dengan bacaan-bacaan yang ada. Semakin banyak yang dibaca dan dipahami, semakin besar rasa penasaran pada bacaan-bacaan yang masih belum terbaca. Betapapun usaha, tenaga, pikiran dan waktu yang digunakan untuk membaca, masih tersisa milyaran kata yang belum terbaca. Inginnya hati adalah untuk menguasai semua bacaan. Melahap sampai mati, tapi tetap saja sulit.
Dari tiga buku di atas yang berbeda judul dan tema, tentu ada nilai atau hasil perenungan tersendiri dari masing-masing buku yang kubaca. Buku yang pertama, tentu sangat berkaitan erat dengan informasi-informasi, bahkan dapat dipastikan inklusif pada wacana sastra. Buku yang kedua mengandung intisari motivasi untuk menjalani pernikahan yang baik dan benar di masa muda atau di saat kuliah. Sedangkan buku yang ketiga adalah upaya untuk me refresh Islam yang mengharuskan otak untuk lebih giat dan liar dalam merenungi hakikat Islam. Sebuah pemetaan yang mengharuskan otak membuat garasi-garasi baru agar tidak bercampur aduk dalam satu bagan.
Entah, apa yang sebenarnya ingin dicari dari ketiga buku yang kubaca tersebut. Kubiarkan saja mata ini menikmati bacaan-bacaan yang secara tak langsung telah memberi gizi pada otakku. Di lain waktu yang mungkin hanya selisih beberapa jam, bahkan mungkin tak sampai satu jam, isi kepala mencoba merefleksikan putaran-putaran hasil bacaan yang kemudian sampai pada pemetaan masa yang akan datang: “Apakah nantinya aku akan jadi sastrawan, motivator atau seorang pemikir?”. Dari sinilah kemudian antara mimpi dan obsesi berkecamuk dalam dada sekaligus pikiran bak mesin penggiling padi yang hanya bekerja di musimnya. Setelah musim panen berlalu, maka hanya akan menjadi mesin usang di gudang-gudang padi.
Jika dalam catatan hariannya, Ahmad Wahib pernah menuliskan “Aku bukan nasionalis, bukan katolik. Aku bukan budha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin bahwa orang memandang dan menilaiku sebagai suatu kemutlakan (absolute etity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia bagai manusia”, lalu apakah bisa, antara sastrawan, motivator dan pemikir digabungkan menjadi satu kesatuan yang utuh? Sedangkan jalan untuk berproses diantara ketiganya berbeda meskipun tujuannya adalah sama-sama menyampaikan pendapat? Entahlah. Yang lebih penting dari dari ketiganya adalah antara mau dan tidaknya mau dan mampu untuk berproses. Ini semua adalah mimpi. Wallahul Musta’an.[roy]
 
M. Roihan Rikza, selesai diketik pada dari Senin, 7 November 2011 (awal mula diketik pada hari Sabtu, 5 November). Pukul 08.41 WIB. “Aku malu dilirik oleh gerombolan buku-buku di rak yang mulai diselimuti oleh debu-debu tipis”

1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, skizofrenia berarti penyakit jiwa yang ditandai oleh ketidakacuhan, halusinasi, waham untuk menghukum, dan merasa berkuasa, tetapi daya pikir tidak berkurang. Istilah tersebut kutemukan dari sebuah buku berjudul Agama Skizofrenia. Untuk lebih detailnya, insyaallah akan saya paparkan resensinya di lain kesempatan dan di lain pembahasan.

Mahasiswa Ngalem: Sebuah Catatan tentang Mahasiswa Manja


Berawal dari kekecewaanku terhadap teman-temanku sejurusan yang tak mau menindak-lanjuti pesanan bukunya. Teman-teman sejurusanku dari tiga kelas A, B, dan C terhitung sekitar 60 lebih yang memesan buku dengan harga yang relatif murah. Buku yang kukordinir kali ini adalah Fiqh Lughah yang ditulis oleh dosen yang mengajarkan mata kuliah Ilmu Lughah, Ustadz Uril Bahruddin, di jurusanku. Dari beliaulah buku yang kukordinir itu menjadi murah dengan harga dua puluh ribu rupiah. 50% lebih murah dibanding harga aslinya, empat puluh ribu rupiah. Dari murah meriahnya buku itulah kemudian teman-teman sejurusanku berbondong-bondong untuk memesannya hingga aku harus kembali dua kali ke percetakan UIN Press untuk memesan dan mengambil kepada petugas percetakan.
Namun, amat disayangkan, setelah berlelah payah membawa tumpukan buku yang tak kurang dari 5 kilogram, hanya beberapa orang saja yang mau mengambilnya setelah kuumumkan untuk segera diambil.
Puncak kejengkelanku terhadap teman-teman yang tidak segera mengambil buku pesanan, meledak kemarin siang, (Senin 24 Oktober 2011), usai mengerjakan soal Ujian Tengah Semester (UTS). Alis mata kanan dan kiriku hampir menyatu karna keningku mengkerutkan dengan penuh kobaran api kemarahan: sebagai tanda aku tak suka dengan adegan semacam itu. Mulutku tiada henti komat-kamit menyumpah-serapahi teman-teman sejurusanku. “Asem! Udah difasilitasi, malah ngalem”. Sesekali aku smsi temanku dengan kata-kata kekecewaan.
Entah, apa sebenarnya yang dipikirkan mahasiswa saat ini yang sepertinya sudah harus serba mewah dan instan. Apa mereka tak pernah memikirkan masa lalu ya? Sebuah masa yang informasi serba terbatas, alat komunikasi hampir seribu banding satu, dan keilmuan sulit untuk diraih, namun dengan semangat yang membara, para pemuda dan pemudi masa lalu sangat antusias baik dalam waktu, alat, dan keilmuan itu sendiri. Ironis!
Aku tak ingin marah kepada teman-temanku yang emang takkan mungkin cukup hanya dimarahi. Sebab, mereka sudah besar dan sudah dewasa. Lebih mudah dan merasa nyaman mengatur anak-anak ingusan di bangku TK dari pada menggerakkan mahasiswa saat ini. Aku hanya ingin menyadarkan mereka agar tak terlalu terlena dengan kemewahannya. Pun aku yang hanya mengendalikan mereka lewat sms, bukan berarti juga nyaman, tapi aku harus merasakan beban pikiran.
Semoga yang membaca catatan ini, jika memang mahasiswa dari jurusan manapun, kampus manapun, apalagi dari teman-teman jurusanku yang kebetulan terkena legitimasi isi catatan ini, menjadi lebih prihatin dengan nasib mahasiswa saat ini. Tiada maksud untuk menyindir, mengklaim, memvonis, atau apapun itu namanya. Aku pun mengakui tentang keberadaanku yang juga manusia yang ada salah lupanya. Jika aku ada salah kurang dan lupa, aku juga berharap ada yang mau mengingatkanku. Aku hadir bukan sebagai malaikat. Aku juga manusia biasa seperti para pembaca, tapi aku ingin merekam semua peristiwa hidupku meskipun amat sulit, bahkan mustahil.
Mengakhiri catatan ini, aku teringat sebuah kritikan ‘pedas’ dari salah seorang aktivis Islam saat aku menanti teman-temanku di masjid Ulul Albab untuk membagikan buku Psikologi Pendidikan. Dengan suara halus dan lembut seseorang tersebut mengatakan padaku “Saya pernah mengetahui keterangan hadis shahih bahwa jika ada seseorang yang membicarakan masalah dunia di masjid, maka dia akan merugi”. Dikiranya aku sedang melakukan transaksi jual beli buku di masjid tersebut. Ah… paling tidak aku telah disadarkannya. [roy]

M. Roihan Rikza, selesai diketik pada hari Selasa 8 November 2011. Pukul 08.43 WIB. “Ada-ada saja warna-warni hidup ini. Warnai hidup! Jangan hidup diwarnai!”