Minggu, 19 Februari 2012

Ilmu dan Kaum Intelektual

Sama halnya dengan cinta, ilmu juga memiliki latar belakang perjuangan untuk meraihnya. Namun, perbedaan sangat nampak tatkala yang diperbincangkan adalah target dari keduanya. Sebab, dalam percintaan, target dari perjuangannya adalah meraih apa yang diinginkannya. Yaitu kekasih yang juga menyatakan bahwa dirinya juga mencintai. Sedangkan ilmu tak memiliki target khusus. Semakin tampak bahwa seseorang yang mencari ilmu akan dekat pintu target dan kemudian membukanya, maka dia akan menemukan keluasan ilmu yang tak bertepi dan tak memiliki batas di balik pintu yang dilbukanya tersebut. Dengan demikian obyek dari ilmu itu sendiri adalah ketidak terbatasan dalam meraihnya. Yang mampu menyadari hal ini adalah orang-orang yang memahami bahwa dirinya adalah makhluk lemah yang memiliki keterbatasan untuk meraihnya.
Untuk kaum intelektual sendiri, tak ubahnya seseorang yang dilanda asmara dahsyat yang takkan terlepas dari pahit manisnya perjuangan. Bahwa arti dari perjungan itu sendiri tidak memiliki batas untuk berhenti. Dalam hal ini, jika dikaitkan dengan tuntutan umat Islam dalam mencari ilmu, Nabi Muhammad saw. bersabda bahwa menuntut ilmu itu dimulai sejak dari kelahiran sampai menuju kematian. Dengan demikian hidup ini takkan pernah sepi dari hiruk pikuk mencari ilmu.
Namun demikian, tak semua orang akan menjadi dan tergolong intelektual. Sebab, manusia itu beragam. Jika dipaksakan agar semua yang lahir harus menjadi kaum intelektual di masa mendatang, lalu siapa yang akan menanam padi di sawah kalau bukan petani? Siapa yang akan mengendalikan pesawat kalau bukan pilot? Siapa yang akan mengamankan negara jika bukan tentara atau polisi? Masing-masing telah memiliki tugas berbeda yang saling melengkapi. Itulah uniknya manusia.
Tapi, tanggung jawab sangat besar diemban oleh kaum intelektual. Bagaimana tidak jika seluruh waktunya harus diperas untuk mengabdi pada keilmuan yang tak terbatas tersebut. Tiap hari harus membaca, membaca, dan membaca. Melakukan penelitian, observasi, mengumpulkan data, dan memecahkan masalah dengan mengerahkan pikirannya. Dalam Islam kaum intelektual disebut sebagai Ulama’ yang didasarkan pada hadis Nabi “Ulama’ adalah pewaris para Nabi” yang berarti menjadi media untuk mentransfer ilmu kepada umat. Lebih-lebih ilmu agama.
Ilmu, menurut Hujjatul Islam Imam Ghazali ada dua macam. Pertama, ilmu agama yang hukum menuntutnya adalah fadhu ‘ain. Yakni, masing-masing manusia (umat Islam) dituntut untuk mempelajarinya. Sebab, menurut hemat penulis, ilmu agama yang dimaksudkan disini adalah sebagai sarana perbekalan untuk melanjutkan kehidupan di akhirat kelak. Bagaimanapun, kehidupan di dunia ini hanyalah sementara.
Kedua, ilmu umum atau ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan keduniawian. Dalam hal ini, menuntutnya adalah fardhu kifayah. Dengan artian, jika sudah ada salah seorang yang bisa atau ahli dalam satu komunitas masyarakat, maka lainnya gugur untuk mempelajarinya. Semisal seorang dokter yang memang dituntut untuk mempelajari teori kedokteran. Jika saja ilmu kedokteran harus dipelajari oleh seleuruh warga kampung, apa gunanya mendirikan puskesmas. Maka, dengan demikian, ilmu kedokteran menjadi ilmu yang fardhu kifayah dalam mempelajarinya.
Antara ilmu dan intelektual sangatlah berkaitan erat. Ilmu bagi seorang intelek adalah hal yang tak dapat dipisahkan. Sedangkan ilmu takkan melekat pada seseorang pun yang tidak mencarinya. Seseorang bisa dikatakan intelek jika telah membaca, mengkaji, mempelajari, --dan kemungkinan untuk mengamalkan dari apa yang telah dipelajari—berbagai wawasan keilmuan, baik klasik maupun modern.
Bagi penulis, yang selama mengusik pikiran adalah ketidak mampuan menutupi kegundahan untuk selalu membaca semua karya tulis yang ada, baik pada “kitab kuning” lebih-lebih “kitab putih” yang lebih mudah dibaca. Inginnya tangan adalah menggapai bulan purnama, tapi tak sampai jua. Cita dalam hati adalah membaca seluruh karya tulis yang bertebaran, namun halangan, rintangan, cobaan dan ujian tiada hentinya menggoda.
Sebenarnya, jika saja mau merenenungi, amat malu diri ini kepada kaum intelektual terdahulu atau juga para pemikir, sastrwan, cendekiawan masa sekarang yang masa mudanya dihabiskan untuk menimba ilmu dengan serius. Umur tak disia-siakan untuk mengabdikan diri kepada pencarian ilmu yang sama sekali tidak akan bosan dan lelah untuk mencarinya. Tak hanya berhenti disitu saja, ilmu juga harus diamalkan sebagai upaya pembuahannya. Sebagaimana telah dikenal dalam pepatah yang artianya “Ilmu yang tak diamalkan bagai pohon tak berbuah”. Buah yang dimaksudkan disini tidak hanya untuk diamalkan secara pribadi. Sangatlah bermanfaat jika ilmu juga disebarkan kepada manusia lainnya yang tentunya tidak akan berkurang sama sekali dari si pemilik ilmu.
Bagaimana tidak harus menutup muka –dan memang seharusnya menutup muka—jika nyatanya Jalaludddin as-Suyuthi, salah satu penulis dari dua penulis tafsir Jalalayn, mampu mengarang “kitab kuning” lebih dari 500 karya yang aku sendiri pun sampai umurku mengetik ini belum memiliki satu karya: satu buku. Barang tentu untuk menjadi golongan intelektual haruslah memiliki ilmu. Maka tak ada yang dapat dipungkiri jika yang menjadi ukuran produtif seseorang dalam memanfaatkan ilmunya lewat tulisan adalah kapasitas ilmunya. Wallahu ‘alam bish shawab. [roy]
M. Roihan Rikza, selesai diketik pada hari Selasa, 14 Februari 2012. Pukul 08.12 WIB. “Saat tenggorakan haus oleh dinginnya air di padang pasir. Begitu pun dengan hati yang berkarat, perlu dibersihkan. Demikian pula dengan otak yang semakin dangkal saja!”


Menelisik Sekilas Gerakan Islam di Kampus

Terlalu banyak yang akan dikaji, ditelaah, dibaca, dan diteliti sedetail mungkin tentang perkembangan Islam di Indonesia—lebih kecilnya lagi di dunia perkuliahan— saat ini. Banyaknya aliran, sekte, lembaga, organisasi dan gerakan Islam membuat kepala ini pusing untuk memulai dari yang mana untuk mengkajinya. Tapi, jika ditanyakan kepada seorang Abdurraham Wahid (Gus Dur) –jika saja beliau masih hidup atau barang kali akan diadakan kontak oleh Argawi Kandito[1]-- barang tentu pernyataan yang akan dilontarkan dari beliau adalah: “Gak usah dipikir Islam yang mana. Cukup Islam tanpa embel-embel saja. Gitu aja kok repot”.
Fundamental, radikal, liberal, literal, plural, kiri, kanan, moderat, modernis, dan masih banyak istilah lainnya yang disematkan kepada Islam yang sejatinya hanyalah Islam tanpa embel-embel; tanpa gelar dan tanpa istilah. Namun, karna tuntutan zaman yang lebih suka dengan mengembel-embeli sebuah nama, akhirnya Islam juga terkena percikan arus perkembangan zaman itu sendiri.
Di kampus tempatku kuliah; UIN Maliki Malang, pintu kebebasan untuk seluruh lembaga, komunitas dan organisasi (selanjutnya akan digunakan kata ‘gerakan’ sebagai kata ganti dari tiga wadah yang telah disebutkan)  ekstra terbuka lebar. Mulai dari yang fundamental sampai yang ke-kiri-kiri-an turut menyemarakkan pintu demokrasi. Tapi, aku hanya membatasi untuk kalangan Islam saja. Selain itu (selain gerakan Islam), ya memang ada, namun tak begitu memiliki perhatian yang lebih. Kalaupun ada, tidak akan bermain dipermukaan publik atau dengan kata lain menjadi gerakan bawah tanah, karna keterbatasan yang terkadang menjadi problematika yang urgen.
HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul ‘Ulama), LDK (Lembaga Dakwah Kampus, KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), dan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) adalah gerakan ekstra kampus yang sampai saat ini masih hidup dan berkembang di tengah arus globalisasi yang cenderung memainkan peran masing-masing mahasiswa untuk bersikap egois dan hedonis.
Itu baru nama-nama gerakan ekstra yang kuketahui, cukup populer dan banyak masuk ke kampus-kampus yang notabene-nya adalah kampus Islamis. Belum lagi dari alumnus-alumnus pesantren yang juga mendirikan gerakan ekstra kampus yang juga memiliki peran untuk mengambangkan pola pemikiran generasi Islam di kampus.
Sebagai catatan yang subjektif, aku hanya memiliki impian untuk mengetahui sejarah, sepak terjang, pola pemikiran, visi, dan misinya masing-masing gerakan Islam yang berakar di kampus. Tentu hal itu tidak hanya sekedar untuk pembekalan diri dalam meraup pengetahuan gerakan keagamaan. Tapi juga sebagai upaya untuk mencari titik temu hakikat kebenaran masing-masing gerakan. Dan tentunya amat rumit sekali menemukan titik terang kebenaran masing-masing kelompok. Bagaimanapun juga, berbagai macam gerakan tentunya memiliki cita-cita yang baik. Itu adalah hal yang absolut untuk dikumandangkan. Tak mungkin suatu komunitas berdiri untuk merembukkan keburukan[2].
Itulah yang melatar belakangi tulisanku kali ini. Bukan berarti penulis ini meragu-ragukan kebenaran Islam. Sama sekali tidak. Islam yang berarti pasrah dan tunduk bukan berarti menerima apa adanya. Sebab, manusia masih diberi keistimewaan berikhtiar untuk melakukan segala sesuatu dengan pikiran semampunya. Inilah yang menjadi keistimewaan manusia yang berbeda dengan makhluk lainnya. Dalam hal ini sebuah kisah yang patut dicontoh adalah kisah nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang masih belum ‘puas’ dengan kekuasaan Allah hingga Allah saw. menanyakan kepada nabi Ibrahim apakah dirinya masih ragu-ragu atas kekuasaan Allah. Namun nabi Ibrahim menjawab “(Bahkan) Aku tidak ragu-ragu sama sekali, malainkan agar hatiku lebih tenang”. (QS. Al-Baqarah [02]: 260). Wallahu ‘alam bish shawab. [roy]

M. Roihan Rikza, selesai diketik pada hari Selasa, 10 Januari 2012. Pukul 19.02 WIB. “Tatkala gelisah untuk mencari kebenaran diselingi dengan berbagai macam wacana, tak ada yang patut diperjuangkan selain belajar, belajar, dan belajar. Karna belajar tidak mengenal waktu”.



[1] Argawi Kandito adalah penulis buku Ngobrol dengan Gus Dur Dari Alam kubur yang terbit tahun 2010. Buku tersebut berisi tentang obrolan-obrolannya dengan Gus Dur. Entah seperti apa cara yang diapakainya untuk berbicara dengan orang-orang yang sudah meninggal dunia. Yang jelas, Argawi Kandito memiliki keistimewaan khusus dari pada manusia umumnya.
[2] Penulis teringat dengan salah satu hadis yang menyatakan bahwa suatu kaum tidak akan bersepakat dalam kesesatan. Dengan demikian, berdirinya organisasi, gerakan ataupun lembaga sekecil apapun, tentu memiliki tujuan yang baik. Namun, sejalan dengan perguliran sejarah, tujuan yang baik terkadang terhambat, bahkan berbenturan dengan perilaku pengendara yang kurang baik. Akhirnya, klaim tidak baik-pun akan dimunculkan kepada satu organisasi, gerakan maupun lembaga yang bersangkutan dengan pelakunya.

Shalehah

“Ntar kalau kamu mau beristri, carilah perempuan yang shalehah. Wes, tak jamin pasti enak”, kata Saiful dalam acara reuni alumni pesantren di desa Mangun Rejo sebulan yang lalu. Itulah kata shalehah yang menyebabkan diskusi dadakan antara teman alumni pesantren. Kini Saiful sudah menikah dengan seorang istri yang katanya shalehah dan sudah memiliki bayi imut yang baru berusia tiga bulan.
Sebenarnya aku tidak sekali dua kali mendapat penjelasan tentang sosok shalehah dari rekan-rekan sebayaku dan pejelasan dari ustadz-ustadz di pesantren kala mengajariku di serambi masjid dan surau. Aku sudah empat tahun keluar dari pesantren kecil di desa Kraton, Semarang. Teman-teman seangkatanku yang sudah berhenti dari pesantren, hampir sudah beristri semua bahkan ada yang sudah memiliki dua anak.
Kini aku berusia dua puluh lima tahun. Baru saja selesai wisuda di gedung megah kampus Gajah  Mada, Jogja. Sepertinya dunia ini semakin menyempit saja. Begitu pula dengan perputaran waktu yang amat singkat. Jika saja aku dulu menikahi gadis desaku yang cantik jelita kala aku berumur dua puluh satu, mungkin kini aku telah memiliki dua anak atau empat kembar. Tapi jalanku sudah digariskan seperti ini. Menuntut ilmu terlebih dahulu sebelum memasuki gerbang pernikahan.
“Enak di sisi mana Ful?”, tanyaku penasaran.
“Pokok enak banget kalau dapat istri shalehah. Sebab, dia nurut. Nggak mudah menuntut suaminya. Hati ini bener-bener tentrem deh kalau berada di dekatnya. Meskipun nggak punya sepeser uang, tapi kalau sudah memiliki istri yang shalehah, masyaallah… suuuueeeneng pol. Dan alhamdulillah, insyaallah istriku masuk kategori shalehah itu”
“Itu khan kriteria yang kamu dapatkan setelah memasuki dunia pernikahan. Sebelum menikah, kamu khan tidak tahu apakah dia shalehah apa tidak. Apalagi kata kamu, dalam sms yang kamu kirimkan beberapa pekan lalu, sebelumnya tidak mengenalinya sama sekali. Kamu menjadi korban perjodohan orang tuamu. Iya toh? Nah bagaimana aku bisa mendapatkan shalehah seperti yang kamu katakan?”
***
Memang begitulah adanya kisah-kisah kenyamanan bertemu dengan perempuan shalehah. Hal itu baru dapat ditemukan setelah menjalani pernikahan. Ukuran shalehah, sepertinya memang baru dapat dirasakan setelah menjalani hubungan yang halal: nikah. Sebelum nikah, jika saja ada yang mau melabelkan kekasihnya itu tergolong shalehah, apalagi saat menjalani masa pacaran, hanyalah sebuah kebohongan semata. Bagaimana tidak? Shalehah itu hampir saja tak memiliki cacat. Barang kali itulah bidadari jatuh dari surga yang kotornya hanya karna debu-debu angin putting beliung.
Pun demikian dengan diriku ini. Sudah beberapa kali aku mencoba melabelkan kata “shalehah” kepada beberapa teman perempuan di kampusku. Tapi, itu hanya sebatas pandanganku saja. Pernah pada satu kesempatan aku menyatakan: “Kamu termasuk perempuan shalehah yang diidam-idamkan pria”, pada seorang aktivis muslimah yang sangat kukagumi. Kukagumi bukan karna pakaiannya yang hampir menyapu lantai, jilbabnya yang lebih mirip dengan ninja hatori, dan kata-katanya yang sering terangkai melebihi sabda-sabda Nabi. Kukagumi dia sebab keistiqomahannya memberikan bungkusan nasi kepada pengemis-pengemis di dekat gerbang masuk kampus. Setiap pagi dia memberi bungkusan nasi tak kurang dari dua puluh lima bungkus. Dia kaya, tapi tidak lupa bahwa kekayaannya hanyalah titipan Tuhan. Saat kudengarkan pernyataan seperti itu darinya, saat itulah secara tiba-tiba bibirku berucap tentang kata-kata “shalehah”.
***
“Shalehah atau nikah itu bukan tujuan. Tapi hanya sebagai perantara saja.” Tiba-tiba saja suara dari pojok ruang tamu terdengar agak tegas hingga membuyarkan suara-suara obrolan dalam ruangan yang panjang lebarnya 6x3 meter. Itulah suara ustadz Mus’tain yang mencoba menengah-nengahi perbincanganku dengan Saiful.
“Wah wah… kayaknya ada yang pengen nikah nich…” ustadz Syukron menanggapi.
“Iya nih ustadz. Rohman lagi nyari yang shalehah. Mau tak kenalin ama Shalehah putri Pak Syamsuri, eh dia malah ngambek” kata Saiful sambil menatap wajahku yang disusul dengan ledakan tawa “hahaha” dalam ruangan.
Suasana berubah menjadi forum diskusi nikah dan shalehah. Inilah serunya berkumpul dengan alumni-alumni pesantren yang disela-sela obrolan mengandung muatan kajian keagamaan yang unik untuk diceritakan kembali.
Hampir 70% yang hadir dalam pertemuan alumni yang berjumlah sekitar 40 alumni pondok pesantren Mambaul Ulum tersebut sudah berumah tangga. Bahkan, lokasi acara, adalah rumah Ulil Absor yang baru menikah sekitar dua pekan lalu.
“Kita, sebagai laki-laki, hanya diperintahkan untuk memilih wanita yang taat beragama untuk dinikahi. Masih ingatkan dengan sebuah hadis dalam kitab Bulughul Maram? Ada sebuah riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi saw. bersabda, “Perempuan itu dinikahi karna empat hal, yaitu: Karna hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan bahagia.” Muttafaq ‘alaihi dan Imam lima.”, tutur ustadz Musta’in yang bernada menceramahi.
“Ya, dari hadis ini kita bisa mengambil hikmah bahwa yang sepantasnya kita nikahi itu adalah perempuan yang memiliki kadar agama yang kuat. Apalagi kita yang pernah nyantri, masak mau nyari yang pasaran. Apa bedanya dengan yang ndak pernah nyantri?”, tambah Agus yang dari dulunya memang suka bicara blak-blakan.
“Mencari perempuan shalehah di masa sekarang ini sangatlah rumit. Jika kita hanya terpancing oleh bagusnya pakaian atau gampangnya adalah perempuan yang berjilbab sedemikian rupa, itupun tak menjamin ke-shalehahannya”, ustadz Syua’ib mencoba menyampaikan pendapatnya.
Suasana menjadi kaku. Ketegangan sepertinya sedang terjadi tanpa ada perencanaan. Ruang diskusi tak seperti diskusi sebelumnya yang sering terjadi panas-panasan pendapat. Satu dengan lainnya saling mempertahankan klaim kebenaran masing-masing ‘fatwa’ yang disampaikan. Sepertinya ada kekhawatiran untuk menyampaikan gagasan pengetahuan. Pun demikian dengan penyampaian barusan. Mereka yang unjuk gigi sudah menikah dan tentunya sudah mengalami pahit manisnya dalam menjalin hubungan dengan istrinya. Terlepas istrinya apakah termasuk shalehah atau tidak, hanya pelakunyalah yang dapat menentukan kriteria tersebut.
“Adalah dilema bagi seorang laki-laki dalam menentukan seorang istri yang sebelum menikah terlihat apik karna ketaatan dalam beragama, namun, kala menjalaninya tidaklah sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan pilihan satunya lagi adalah perempuan yang sangat minim dalam pengetahuan keagamaan, namun, kala menjalani pernikahan, betapa mulianya seorang istri tersebut dalam pandangan sang suami.”, aku mencoba bersuara.
“Tidak! Tidak begitu. Perempuan yang baik itu untuk laki-laki yang baik. Begitu pula dengan perempuan yang tidak baik juga untuk laki-laki yang tidak baik.” Abdus membantah pernyataanku. Suasana semakin tegang.
“Sudah sudah… Jangan terlalu diperdebatkan panjang lebar. Acara akan segera dimulai ni. Nanti saja setelah acara diperdebatkan lagi. Saya hanya akan menyampaikan sebuah hadis: Beruntunglah bagi setiap lelaki yang memiliki istri shalehah, sebab ia bisa membantu memelihara akidah dan ibadah suaminya. Rasulullah bersabda, “Barang siapa diberi istri yang shalehah, sesungguhnya ia telah diberi pertolongan (untuk) meraih separuh agamanya. Kemudian hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam memelihara separuh lainnya.”(HR. Thabrani dan Hakim) hehe”, Ulil Absar mencoba menenangkan.
“Bentar-bentar, aku juga mau ikutan nyumbang pengetahuan lagi. Diantara ciri istri shalehah adalah, pertama, melegakan hati suami bila dilihat. Rasullah bersabda, “Bagi seorang mukmin laki-laki, sesudah takwa kepada Allah swt. maka tidak ada sesuatu yang paling berguna bagi dirinya, selain istri yang shalehah. Yaitu, taat bila diperintah, melegakan bila dilihat, ridha bila diberi yang sedikit, dan menjaga kehormatan diri dan suaminya, ketika suaminya pergi.” (HR. Ibnu Majah), tambah ustadz Syukron.
***
Usai acara, aku langsung pamit pulang. Aku tidak mengikuti acara selanjutnya yang entah masih didiskusikan kembali atau tidak. Tapi, kemungkinan besar tidak. Sebab, yang mengawali diskusi aku. Entah juga lah. Dalam perjalanan pulang, aku mencoba meraba-raba kembali pernyataan demi pernyataan yang telah dilontarkan dalam diskusi dadakan tadi. Aku masih belum puas atas pernyataan-pernyataan tadi. Terlalu simpel untuk diterima. Tapi bukan berarti aku mengingkarinya.
Yang lebih kuherankan lagi adalah kala yang kuanggap perempuan-perempuan sholehah di kampus menargetkan calon suami atau dapat diistilahkan ‘suami idaman’ dengan ukuran yang amat mencengankan. “Aku menginginkan suami seorang doktor”, “Suamiku kelak adalah seorang saudagar kaya raya”, “Seorang guru teladan di masyarakat adalah suami idamanku”. Lengkap sudah penderitaan batin ini jika melihat realita perempuan-perempuan saat ini lebih mengingikan calon suami yang terpandang atau secara materi memiliki bonus-bonus sumbangan. Kesuksesan secara kasat mata telah mendominasi perempuan dari pada sisi abstrak pada seorang laki-laki.
Pernah suatu saat aku mencoba mencanda dengan seseorang berparas cantik yang juga kumasukkan dalam katagori shalehah. Hal itu terjadi kala aku masih berada di awal semester dua. Mungkin terlalu dini untuk menyatakan hal semacam itu. Tapi apa salahnya mencoba.
“Maukah kau menjadi istriku?”, kataku pada Triana Rahmawati. Perempuan jilbaber anak seorang kyai kampung di Makasar.
“Hah! Kamu mau menikahi aku? Nggak salah nembak nich? Emang udah punya modal apa kau mau menikahiku? Hehe”
“Aku hanya memiliki sepeda ontel ini. Selebihnya aku hanya pasrah pada Tuhan.” Kataku mengharap.
“Ah nggak mau. Bisa-bisa anak kita dikasih makan rumput lho. Hehe. Udah lah Rohman. Kau tak usah mencandai aku terus menerus. Nanti kau bisa jatuh cinta beneran ama aku.”
Perbincangan yang mulanya hanya mencanda, tiba-tiba berubah menjadi agak tegang. Aku jadi agak grogi. Tapi jujur saja, aku memang mencintai Triana. Hanya saja, ekspresiku selama ini tak menunjukkan keseriusanku. Mungkin kali ini adalah momen untuk mengutarakan perasaanku yang sesungguhya.
“Tri, sebenarnya aku sungguh ingin menikahimu”
“Stop! Kau ndak usah gombalin aku. Telingaku sudah penuh dengan gombalanmu”
“Tri. Jujur nich. Aku benar-benar ingin menikahimu. Aku tak sedang menggombal. Jika aku menggombal, aku hanya akan menggunakan kata-kata cinta, sayang, suka atau yang lainnya. Tapi kali ini aku benar-benar mengungkapkannya dengan sepenuh hatiku Tri. Aku ingin menikahimu.”
Triana terdiam. Sepertinya ragu-ragu untuk menjawab. Tapi, tak selang beberapa lama.
“Rohman. Tak usah tergesa-gesa. Lebih baik selesaikan kuliah dulu. Sukses terlebih dahulu. Jika sudah mapan kau bisa melamar ke orang tuaku. Tapi maaf saja. Untuk kali ini aku tak bisa menerimamu. Afwan ya akhi” kata Trisna yang kemudian pergi meninggalkanku.
***
Jika mengingat kenangan itu, hati ini terasa ditusuk ribuan pedang berkarat. Triana hanya memandang dari materi saja. Dia tak tau kalau diriku ini memiliki tujuan menjalankan separuh agama yang hanya dapat diselesaikan dengan pernikahan. Tapi inilah resiko hidup yang serba material. Aku tidak akan menyalahkan bapak sosialis Marx. Dunia memang telah berubah. Kepercayaan kepada Tuhan hanya dapat diukur dengan kemampuan seseorang menghasilkan berapa banyak uang. Itu yang kupahami dari era saat ini. Siapa yang sukses maka dia layak untuk menikah dengan perempuan yang shalehah versiku.
Antara bekerja kemudian menikah dan menikah lalu bekerja sangatlah berbeda. Yang sering kudapati di pesantren, saat teman-temanku pamit kepada kyai untuk berhenti mondok dengan alasan bekerja, kyai tidak memperbolehkan. Lain halnya dengan santri yang ijin pamit untuk menikah, kyai langsung mengijinkan sambil mendo’akan agar mendapatkan wanita yang shalehah. Sebuah rahasia yang masih belum mampu kuungkap secara pasti. Yang sering kudapati dari petuah sesepuh pini sepuh memang demikian adanya. Menikah terlebih dahulu, baru kemudian pekerjaan akan datang sendiri.
***
“Diantara tanda seorang perempuan itu shalehah adalah yang paling murah mas kawinnya. Perempuan yang seperti ini tak mengukur pasangannya dari sisi materi, tapi taqwa. Taqwa adalah puncak segalanya. Jika ada seorang lelaki yang tak memiliki apa-apa kecuali taqwa dan ilmu agama, sedangkan dirinya diterima dengan lapang dada oleh seorang perempuan, saya pastikan itulah perempuan yang shalehah.  Untuk kaum Adam, jangan khawatir dengan janji Allah swt. yang telah berfirman: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sediriandiantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur [24]: 32)”
Keterangan dari Kyai Badrus dalam pengajian sore hari itulah yang kemudian mengantarkanku menikah dengan Nurul Jazimah, perempuan kaya raya yang dermawan yang kukenal sejak aku kuliah. Dia tak memandang penampilanku saat aku melamarnya. Dia hanya menanyakan: “Apa yang kau miliki untuk kau berikan kepadaku?”, “Aku hanya memiliki sedikit ilmu yang akan kujadikan pagar untuk aku pegang. Sedangkan kau adalah perahu yang akan mengantarkanku menuju ridho-Nya”

M. Roihan Rikza, selesai diketik pada hari Ahad dini hari, 19 Februari 2012. Pukul 00.15 WIB. “Untuk para wanita yang merasa dirinya sha